Dimulai dari larangan penguburan bayi perempuan di tengah kalangan Arab yang meninggikan derajat laki-laki. Juga memberlakukan denda-denda memerdekakan budak di kalangan masyarakat yang masih kental perbudakan.
Usaha-usaha itu tak ayal untuk mencapai posisi kesetaraan hak asasi manusia hingga tidak ada satu insan pun yang berada di bawah kuasa manusia lain.
Namun, menjadi merdeka secara fisik saja belum cukup bagi seorang muslim yang ingin mencapai derajat insan kamil. Mendapat hak makan, minum, berpendapat, berekspresi, memperoleh kekayaan, tidak dapat dikatakan merdeka jika dinilai dengan parameter tasawuf. Ada ukuran-ukuran yang menjadi tolak ukur agar seorang insan dikatakan merdeka secara jiwa dan ruhnya.
Ukuran jiwa merdeka ada ketika seseorang sudah terbebas dari jeratan nafsu buruk. Sebab jiwa yang masih lebih menuhankan nafsunya dari pada Allah pasti tidak bisa menggapai kemerdekaan dalam jiwanya. Allah sudah mengingatkan dengan firman-Nya:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِن بَعْدِ اللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
Tahukah kamu (Muhammad), orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan dibiarkan sesat oleh Allah dengan pengetahuan-Nya, Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya, siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat?) Apakah kamu (wahai manusia) tidak mengambil pelajaran?. (QS Al-Jatsiyah: 23)
Ayat tersebut dapat dimaknai sebagai pengingkaran Allah atas kelailain seorang manusia yang telah menjadikan hawa nafsunya sendiri sebagai panutan. Padahal ada Allah yang wajib dianut dan disembah sebagai Tuhan sesungguhnya. Alhasil, orang yang masih menuhankan hawa nafsunya akan disesatkan oleh Allah. Maksud dari pada penyesatan ini diuraikan oleh Ibnu ‘Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir-nya,
وَمَعْنَى أَضَلَّهُ اللَّهُ أَنَّهُ حَفَّهُمْ بِأَسْبَابِ الضَّلَالَةِ مِنْ عُقُولٍ مُكَابِرَةٍ وَنُفُوسٍ ضَعِيفَةٍ، اعْتَادَتِ اتِّبَاعَ مَا تَشْتَهِيهِ لَا تَسْتَطِيعُ حمل المصابرة والرضى بِمَا فِيهِ كَرَاهِيَةٌ لَهَا. فَصَارَتْ أَسْمَاعُهُمْ كَالْمَخْتُومِ عَلَيْهَا فِي عَدَمِ الِانْتِفَاعِ بِالْمَوَاعِظِ وَالْبَرَاهِينِ، وَقُلُوبُهُمْ كَالْمَخْتُومِ عَلَيْهَا فِي عَدَمِ نُفُوذِ النَّصَائِحِ وَدَلَائِلِ الْأَدِلَّةِ إِلَيْهَا، وَأَبْصَارُهُمْ كَالْمُغَطَّاةِ بِغِشَاوَاتٍ فَلَا تَنْتَفِعُ بِمُشَاهَدَةِ الْمَصْنُوعَاتِ الْإِلَهِيَّةِ الدَّالَّةِ عَلَى انْفِرَادِ اللَّهِ بِالْإِلَهِيَّةِ وَعَلَى أَنَّ بَعْدَ هَذَا الْعَالَمِ بَعْثًا وَجَزَاءً.
Makna penyesatan Allah kepada seorang hamba (pada ayat di atas) adalah Allah melibas mereka dengan sesuatu yang menyebabkan kesesatan, di antaranya kecongkakan akal dan lemahnya hati. Hingga menjadikan indra pendengar mereaka tuli terhadap nasihat dan bukti nyata, matinya hati dari pengaruh nasihat dan tanda jelas, pandangan mereka seakan buram tertutup kabut. Maka semua bukti ilahiyah Allah tidak cukup bermanfaat untuk menunjukkan keesaan-Nya.
Jadi, kemerdekaan ala kaum sufi adalah ketika hati seorang insan sudah hidup. Kondisi hati yang hidup pasti telah mengalami kematian nafsu, lebih-lebih nafsu angkoro (angkara murka). Hal itu dapat diistilahkan dengan mutu qabla an tamut (matilah kalian sebelum kalian mati), yakni keadaan mati rasa gejolak nafsu diri kita, sebelum mati secara adat kemanusiaan (tercabutnya ruh).
(Penulis: Yuniar Indra//Mahasantri Mahad Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng).
Namun, menjadi merdeka secara fisik saja belum cukup bagi seorang muslim yang ingin mencapai derajat insan kamil. Mendapat hak makan, minum, berpendapat, berekspresi, memperoleh kekayaan, tidak dapat dikatakan merdeka jika dinilai dengan parameter tasawuf. Ada ukuran-ukuran yang menjadi tolak ukur agar seorang insan dikatakan merdeka secara jiwa dan ruhnya.
Ukuran jiwa merdeka ada ketika seseorang sudah terbebas dari jeratan nafsu buruk. Sebab jiwa yang masih lebih menuhankan nafsunya dari pada Allah pasti tidak bisa menggapai kemerdekaan dalam jiwanya. Allah sudah mengingatkan dengan firman-Nya:
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَىٰ عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَن يَهْدِيهِ مِن بَعْدِ اللَّهِ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
Tahukah kamu (Muhammad), orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan dibiarkan sesat oleh Allah dengan pengetahuan-Nya, Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya, siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat?) Apakah kamu (wahai manusia) tidak mengambil pelajaran?. (QS Al-Jatsiyah: 23)
Ayat tersebut dapat dimaknai sebagai pengingkaran Allah atas kelailain seorang manusia yang telah menjadikan hawa nafsunya sendiri sebagai panutan. Padahal ada Allah yang wajib dianut dan disembah sebagai Tuhan sesungguhnya. Alhasil, orang yang masih menuhankan hawa nafsunya akan disesatkan oleh Allah. Maksud dari pada penyesatan ini diuraikan oleh Ibnu ‘Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir-nya,
وَمَعْنَى أَضَلَّهُ اللَّهُ أَنَّهُ حَفَّهُمْ بِأَسْبَابِ الضَّلَالَةِ مِنْ عُقُولٍ مُكَابِرَةٍ وَنُفُوسٍ ضَعِيفَةٍ، اعْتَادَتِ اتِّبَاعَ مَا تَشْتَهِيهِ لَا تَسْتَطِيعُ حمل المصابرة والرضى بِمَا فِيهِ كَرَاهِيَةٌ لَهَا. فَصَارَتْ أَسْمَاعُهُمْ كَالْمَخْتُومِ عَلَيْهَا فِي عَدَمِ الِانْتِفَاعِ بِالْمَوَاعِظِ وَالْبَرَاهِينِ، وَقُلُوبُهُمْ كَالْمَخْتُومِ عَلَيْهَا فِي عَدَمِ نُفُوذِ النَّصَائِحِ وَدَلَائِلِ الْأَدِلَّةِ إِلَيْهَا، وَأَبْصَارُهُمْ كَالْمُغَطَّاةِ بِغِشَاوَاتٍ فَلَا تَنْتَفِعُ بِمُشَاهَدَةِ الْمَصْنُوعَاتِ الْإِلَهِيَّةِ الدَّالَّةِ عَلَى انْفِرَادِ اللَّهِ بِالْإِلَهِيَّةِ وَعَلَى أَنَّ بَعْدَ هَذَا الْعَالَمِ بَعْثًا وَجَزَاءً.
Makna penyesatan Allah kepada seorang hamba (pada ayat di atas) adalah Allah melibas mereka dengan sesuatu yang menyebabkan kesesatan, di antaranya kecongkakan akal dan lemahnya hati. Hingga menjadikan indra pendengar mereaka tuli terhadap nasihat dan bukti nyata, matinya hati dari pengaruh nasihat dan tanda jelas, pandangan mereka seakan buram tertutup kabut. Maka semua bukti ilahiyah Allah tidak cukup bermanfaat untuk menunjukkan keesaan-Nya.
Jadi, kemerdekaan ala kaum sufi adalah ketika hati seorang insan sudah hidup. Kondisi hati yang hidup pasti telah mengalami kematian nafsu, lebih-lebih nafsu angkoro (angkara murka). Hal itu dapat diistilahkan dengan mutu qabla an tamut (matilah kalian sebelum kalian mati), yakni keadaan mati rasa gejolak nafsu diri kita, sebelum mati secara adat kemanusiaan (tercabutnya ruh).
Dengan cara memandikan nafsu kita menggunakan air taubat, sebelum kita benar-benar jenazah kita nanti dimandikan. Setelah itu, “kafanilah diri kalian sebelum dikafani”, makna tersiratnya yakni membalut diri ruhani dengan busana takwa. “Salatlah sebelum kalian disalati,” makna dari ungkapan itu adalah hendaknya kita harus dawam al-zikri (melanggengkan zikir).
Terakhir, “kuburlah diri kalian sebelum dikubur”, fana’-kan dirimu ke dalam asma-asma, sifat-sifat, bahkan zat Allah, melalui proses kahlwat dan ‘uzlah. Atau dalam ajaran Syaikh Siti Jenar lumrah disebut Catur Wiworo Werit (empat jalan yang sempit). Syeikh Siti Jenar mengistilahkan catur wiworo werit (Empat Perjalanan yang Sempit) dalam menegaskan betapa empat jalan; syari’ah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifah, bukanlah jalan yang gampang (werit).
Setelah proses-proses itu sudah dilakukan, pasti lah nafsu kita mati hingga muncul hayah al-qalbi. Kondisi hayah al-qalbi akan memunculkan zuhud dan qanaah. Zuhud adalah syarat bagi siapa pun yang ingin dicintai oleh Allah. Kalau sudah menikmati zuhud pasti merasakan jaminan selamat dan aman di mana pun berada. Ada beberapa cara agar hati kita merasa zuhud, langkah pertama untuk meningkatkan zuhud adalah dengan cara menyepelekan dunia.
Sebagaimana Allah sudah meremahkan dunia dengan menanggap dunia tak hanya senilai satu sayap lalat. Salah satu contoh dari tindakan zuhud ketika menjadi istri, yakni harusnya seorang istri “meng-emaskan” Mas Hakiki dari pada mas duniawi. Mas hakiki yang dimaksud adalah “Mas” suami masing-masing. Jadi para istri diharuskan mengutamakan suaminya (Mas) dari pada perhiasannya (Emas).
Di samping menikmati kehidupan zuhud, juga harus merasa qanaah. Al-Ghazali mendefinisikan qanaah dalam Mizan al-‘Amal,
وَأَماَّ القَنَاعَةُ، فَحُسْنُ تَدْبِيْرِ المَعَاشِ مِنْ غَيْرِ خَبٍّ
Qanaah merupakan bentuk pengelolaan dana/kekayaan agar terhindar dari sesuatu yang sia-sia.
Dapat dipahami bahwa, teks tersebut mempersilahkan punya banyak harta, tapi harus berhati qanaah. Sebab wujud dari sifat qanaah ini membuat kita merasa terlalu cukup dengan pemberian Allah, yang membuat diri kita selalu ingin membagi-bagi harta kita. Kenikmatan sikap ini akan muncul ketika sudah tajrid al-qalbi, yakni kosongnya hati dari selain Allah.
Pada intinya, kemerdekaan ala sufi dapat diraih dengan berproses sebagaimana para ulama menjalankan kehidupannya. Kehidupan yang penuh dengan kezuhudan dan qanaah karena hati yang benar-benar hidup. Kehidupan yang diwarnai dengan pakerti asma-asma Ilahi. Kehidupan yang didasari dengan pribadi Muhammad SAW.
Setelah proses-proses itu sudah dilakukan, pasti lah nafsu kita mati hingga muncul hayah al-qalbi. Kondisi hayah al-qalbi akan memunculkan zuhud dan qanaah. Zuhud adalah syarat bagi siapa pun yang ingin dicintai oleh Allah. Kalau sudah menikmati zuhud pasti merasakan jaminan selamat dan aman di mana pun berada. Ada beberapa cara agar hati kita merasa zuhud, langkah pertama untuk meningkatkan zuhud adalah dengan cara menyepelekan dunia.
Sebagaimana Allah sudah meremahkan dunia dengan menanggap dunia tak hanya senilai satu sayap lalat. Salah satu contoh dari tindakan zuhud ketika menjadi istri, yakni harusnya seorang istri “meng-emaskan” Mas Hakiki dari pada mas duniawi. Mas hakiki yang dimaksud adalah “Mas” suami masing-masing. Jadi para istri diharuskan mengutamakan suaminya (Mas) dari pada perhiasannya (Emas).
Di samping menikmati kehidupan zuhud, juga harus merasa qanaah. Al-Ghazali mendefinisikan qanaah dalam Mizan al-‘Amal,
وَأَماَّ القَنَاعَةُ، فَحُسْنُ تَدْبِيْرِ المَعَاشِ مِنْ غَيْرِ خَبٍّ
Qanaah merupakan bentuk pengelolaan dana/kekayaan agar terhindar dari sesuatu yang sia-sia.
Dapat dipahami bahwa, teks tersebut mempersilahkan punya banyak harta, tapi harus berhati qanaah. Sebab wujud dari sifat qanaah ini membuat kita merasa terlalu cukup dengan pemberian Allah, yang membuat diri kita selalu ingin membagi-bagi harta kita. Kenikmatan sikap ini akan muncul ketika sudah tajrid al-qalbi, yakni kosongnya hati dari selain Allah.
Pada intinya, kemerdekaan ala sufi dapat diraih dengan berproses sebagaimana para ulama menjalankan kehidupannya. Kehidupan yang penuh dengan kezuhudan dan qanaah karena hati yang benar-benar hidup. Kehidupan yang diwarnai dengan pakerti asma-asma Ilahi. Kehidupan yang didasari dengan pribadi Muhammad SAW.