Idul Qurban (Kurban) kemudian bisa kita maknai sebagai sebuah hari dimana kita berupaya kembali pada hakikat kemanusiaan kita yang mendambakan dekat dengan yang Maha Rahim.
Banyak cara yang bisa kita tempuh untuk mendekat kepada-Nya (taqarrub Ilallah), Maulana Jalaluddin Rumi menyebut, sebanyak helaan nafas manusia. Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, agar kamu beruntung” (QS. Al-Maidah: 35).
“Ketahuilah, sesungguhnya infak itu suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah).” (QS. At-Taubah: 99)
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah”. (QS. 108: 2)
Kurban tidak saja bermakna memotong seekor kambing/sapi/onta yang terbaik, melainkan lebih jauh dari itu, yakni mengurbankan kecintaan kepada selain Allah SWT, khususnya kecintaan terhadap sesuatu yang mendominasi ruang hati ini, agar tauhid menjadi bersih, agar Allah mengaruniai makna dari ‘Ahadiyah’ secara hakiki.
Sebagaimana kisah Nabiyullah Ibrahim,as., yang begitu lama mendambakan seorang putra dan dengan khusyu melantunkan doa-doa. Setelah dikaruniai seorang putra yang bernama Ismail, membuat hatinya sedikit berpaling, yang tadinya hanya terisi Allah SWT mulai berbagi, oleh karenanya Allah memerintahkan menyembelih putra tersayang ini, agar hatinya kembali murni, hanya mencintai Allah SWT saja. Nah, orang-orang yang mengikuti hakikat kisah ini, dengan jalan memerangi hawa nafsunya (mujahadah) pada setiap kesempatan.
Nama lain Idul Qurban, adalah Idul Adha. Adha memiliki makna penyembelihan. Harus ada yang kita sembelih pada hari ini. Bukan persoalan apa kita memiliki harta atau tidak untuk menyembelih. Kita yang termasuk belum memiliki kemampuan untuk menyembelih hewan qurban, sesungguhnya telah diberi kemampuan untuk melakukan prosesi penyembelihan lain, menyembelih ‘kambing’, ‘sapi’, maupun ‘hewan ternak’ lain yang beranak pinak dalam diri kita.
Hewan ternak sesungguhnya tamsil dari dominasi hawa nafsu dan syahwat kita. Tamsil segala kesesatan dan keburukan; kebodohan, kedengkian, ketakaburan, buruk sangka, kemalasan, kecintaan pada hal-hal material dan aspek lainnya yang harus kita sembelih dari diri kita. Allah SWT menyebut orang-orang yang buta hati, akal dan pikirannya lebih sesat dari hewan ternak.
Maulana Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi Ma’nawi menafsirkan empat ekor burung yang disembelih dan dicincang oleh Nabi Ibrahim as dalam surah Al-Baqarah ayat 260 sebagai empat ekor unggas yang ada dalam diri kita. Keempat ekor unggas itu adalah bebek yang mencerminkan kerakusan, ayam jantan yang melambangkan nafsu, merak yang menggambarkan kesombongan dan gagak yang melukiskan keinginan.
Dan menurut Maulana Rumi kita hanya bisa kembali hidup sebagaimana manusia ketika kita berani menyembelih keempat unggas ini, sebagaimana Ibrahim as mencincangnya. Di antara keempat unggas ini, bebeklah yang paling mewakili karakter kebanyakan kita. Tentang bebek Maulana Rumi bercerita:
Bebek itu kerakusan, karena paruhnya selalu di tanah
Mengeruk apa saja yang terbenam, basah atau kering
Tenggorokannya tak pernah santai, sesaatpun
Ia tak mendengar firman Tuhan, selain makan
minumlah!
Seperti penjarah yang merangsek rumah-rumah
Dan memenuhi kantongnya dengan cepat
Ia masukkan ke dalam kantongnya baik dan buruk
Permata atau kacang tiada beda
Ia jejalkan ke kantung basah dan kering
Kuatir pesaing akan merebutnya
Waktu mendesak, kesempatan sempit,
Ia ketakutan
dengan segera di bawah tangannya
Ia tumpukkan apapun….
Dikisahkan oleh Maulana Jalaluddin Rumi, secara indah dalam kitab Mastnawi yang masyhur itu. Kisah itu bercerita tentang seekor keledai yang dikandangkan bersama seekor unta, keledai itu berkata:
‘Kepalaku selalu menunduk kebawah, kendati demikian, aku masih selalu jatuh.
Sementara kepalamu tegak, dan pandanganmu lurus serta melihat keatas, tetapi engkau tidak pernah jatuh, apa sebabnya?
Sang Unta menjawab: ‘Dengan kepalaku tegak dan lurus aku bisa melihat jauh. Kalau ada lubang, aku bisa menghindarinya.’
Mendengar itu si keledai menangis, ‘Bimbinglah aku, tunjukkan kepadaku jalan yang lurus, sehingga aku tidak jatuh lagi.’
Sang Unta menjawab: ‘Dengan mengakui kelemahan diri, kamu sudah terselamatkan. Berbahagialah sekarang, karena kamu sudah terbebaskan dari sesuatu yang jahat.’
Terbebaskan dari sesuatu yang jahat, yakni keakuan atau ego!
Tujuan utama bertasawuf adalah mengalahkan keakuan atau ego, hal ini tidak boleh terlupakan oleh para salik, bukan malah membangunnya. Sebagaimana sebuah hadis yang menyatakan bahwa: ‘Man arofa nafsahu faqod arofa rabbah’
‘Barang siapa mengenal dirinya (nafs-nya atau ego-nya), maka ia mengenal Tuhannya.'[]
Banyak cara yang bisa kita tempuh untuk mendekat kepada-Nya (taqarrub Ilallah), Maulana Jalaluddin Rumi menyebut, sebanyak helaan nafas manusia. Allah SWT berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, agar kamu beruntung” (QS. Al-Maidah: 35).
“Ketahuilah, sesungguhnya infak itu suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah).” (QS. At-Taubah: 99)
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah”. (QS. 108: 2)
Kurban tidak saja bermakna memotong seekor kambing/sapi/onta yang terbaik, melainkan lebih jauh dari itu, yakni mengurbankan kecintaan kepada selain Allah SWT, khususnya kecintaan terhadap sesuatu yang mendominasi ruang hati ini, agar tauhid menjadi bersih, agar Allah mengaruniai makna dari ‘Ahadiyah’ secara hakiki.
Sebagaimana kisah Nabiyullah Ibrahim,as., yang begitu lama mendambakan seorang putra dan dengan khusyu melantunkan doa-doa. Setelah dikaruniai seorang putra yang bernama Ismail, membuat hatinya sedikit berpaling, yang tadinya hanya terisi Allah SWT mulai berbagi, oleh karenanya Allah memerintahkan menyembelih putra tersayang ini, agar hatinya kembali murni, hanya mencintai Allah SWT saja. Nah, orang-orang yang mengikuti hakikat kisah ini, dengan jalan memerangi hawa nafsunya (mujahadah) pada setiap kesempatan.
Nama lain Idul Qurban, adalah Idul Adha. Adha memiliki makna penyembelihan. Harus ada yang kita sembelih pada hari ini. Bukan persoalan apa kita memiliki harta atau tidak untuk menyembelih. Kita yang termasuk belum memiliki kemampuan untuk menyembelih hewan qurban, sesungguhnya telah diberi kemampuan untuk melakukan prosesi penyembelihan lain, menyembelih ‘kambing’, ‘sapi’, maupun ‘hewan ternak’ lain yang beranak pinak dalam diri kita.
Hewan ternak sesungguhnya tamsil dari dominasi hawa nafsu dan syahwat kita. Tamsil segala kesesatan dan keburukan; kebodohan, kedengkian, ketakaburan, buruk sangka, kemalasan, kecintaan pada hal-hal material dan aspek lainnya yang harus kita sembelih dari diri kita. Allah SWT menyebut orang-orang yang buta hati, akal dan pikirannya lebih sesat dari hewan ternak.
Maulana Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi Ma’nawi menafsirkan empat ekor burung yang disembelih dan dicincang oleh Nabi Ibrahim as dalam surah Al-Baqarah ayat 260 sebagai empat ekor unggas yang ada dalam diri kita. Keempat ekor unggas itu adalah bebek yang mencerminkan kerakusan, ayam jantan yang melambangkan nafsu, merak yang menggambarkan kesombongan dan gagak yang melukiskan keinginan.
Dan menurut Maulana Rumi kita hanya bisa kembali hidup sebagaimana manusia ketika kita berani menyembelih keempat unggas ini, sebagaimana Ibrahim as mencincangnya. Di antara keempat unggas ini, bebeklah yang paling mewakili karakter kebanyakan kita. Tentang bebek Maulana Rumi bercerita:
Bebek itu kerakusan, karena paruhnya selalu di tanah
Mengeruk apa saja yang terbenam, basah atau kering
Tenggorokannya tak pernah santai, sesaatpun
Ia tak mendengar firman Tuhan, selain makan
minumlah!
Seperti penjarah yang merangsek rumah-rumah
Dan memenuhi kantongnya dengan cepat
Ia masukkan ke dalam kantongnya baik dan buruk
Permata atau kacang tiada beda
Ia jejalkan ke kantung basah dan kering
Kuatir pesaing akan merebutnya
Waktu mendesak, kesempatan sempit,
Ia ketakutan
dengan segera di bawah tangannya
Ia tumpukkan apapun….
Dikisahkan oleh Maulana Jalaluddin Rumi, secara indah dalam kitab Mastnawi yang masyhur itu. Kisah itu bercerita tentang seekor keledai yang dikandangkan bersama seekor unta, keledai itu berkata:
‘Kepalaku selalu menunduk kebawah, kendati demikian, aku masih selalu jatuh.
Sementara kepalamu tegak, dan pandanganmu lurus serta melihat keatas, tetapi engkau tidak pernah jatuh, apa sebabnya?
Sang Unta menjawab: ‘Dengan kepalaku tegak dan lurus aku bisa melihat jauh. Kalau ada lubang, aku bisa menghindarinya.’
Mendengar itu si keledai menangis, ‘Bimbinglah aku, tunjukkan kepadaku jalan yang lurus, sehingga aku tidak jatuh lagi.’
Sang Unta menjawab: ‘Dengan mengakui kelemahan diri, kamu sudah terselamatkan. Berbahagialah sekarang, karena kamu sudah terbebaskan dari sesuatu yang jahat.’
Terbebaskan dari sesuatu yang jahat, yakni keakuan atau ego!
Tujuan utama bertasawuf adalah mengalahkan keakuan atau ego, hal ini tidak boleh terlupakan oleh para salik, bukan malah membangunnya. Sebagaimana sebuah hadis yang menyatakan bahwa: ‘Man arofa nafsahu faqod arofa rabbah’
‘Barang siapa mengenal dirinya (nafs-nya atau ego-nya), maka ia mengenal Tuhannya.'[]