Para penulis teori-teori tasawwuf ketika menjelaskan kebebasan dalam karya-karya mereka selalu dimulai dengan konsep hamba (al-abd) berikut dengan semua atribut kehambaan (al-ubudiyyah).
Dalam penjelasan ini, yang tersisa dalam substansi dan identitas kesufian tidak lain hanyalah kehambaan atau dalam bahasa kaum sufi al-ubudiyyah.
Namun persoalan jadi lain ketika seorang hamba dalam perjalanan ruhaninya telah sampai kepada tingkat al-fana. Sampai di sini, pembahasan kaum sufi menjadi lain, tidak lagi soal kehambaan atau al-ubudiyyah tapi soal kebebasan atau al-hurriyyah. Lalu apa sebenarnya makna al-hurriyyah dalam pandangan kaum sufi?
Hakikat kebebasan, kata al-Qusyairi dalam ar-Risalah, terletak kepada kesempurnaan kebebasan (fi kamal al-hurriyyah). Secara lebih jauh lagi, al-Qusyairi mengutip pandangan al-Hallaj: al-Husain bin Mansur menjelaskan jika telah melewati tingkatan-tingkatan kehambaan (maqamat al-ubudiyyah) secara keseluruhan, seorang hamba akan terbebas dari beban kehambaan.
Karena dalam pandangan kaum sufi, setiap makna suatu kata itu selalu terbagi dua; makna untuk kalangan orang banyak atau kalangan awam dan makna untuk kalangan elite atau kalangan khassah, dan kadang dalam berbagai hal, ada makna lain yang ketiga, yakni makna untuk kalangan super elite (khasatul khassah), kebebasan pun selalui dimaknai menurut awam, khassah dan khassatul khassah.
Kebebasan untuk kalangan awam ialah kebebasan dari perbudakan nafsu dan syahwat (at-taharrur min ubudiyyat asy-syahawat). Kebebasan seperti ini hanya diperuntukan bagi para sufi pemula yang belum bisa dibedakan dari kalangan awam pada umumnya. Sedangkan kebebasan untuk kalangan khassah ialah kebebasan dari belenggu kehendak dan keinginan karena kehendak mereka sudah melebur atau fana dalam kehendak Yang Maha Benar (at-taharrur min riqqil muradat, lifanai iradatihim fi iradatil haqq).
Kebebasan jenis ini ialah kebebasan seorang sufi yang telah melewati semua tingkatan perjalanan spiritual dan telah mencapai tingkatan fana. Ketika sudah sampai ke tingkatan fana, sang sufi sudah terbebas dari belenggu-belenggu latihan spiritual, riyadah dan mujahadah.
Sedangkan jenis kebebasan yang ketiga, kebebasan yang dimiliki oleh kalangan khassatul khassah, kalangan super elite-nya para pendaki spritual menuju Allah, ialah kebebasan dari belenggu ibadah formal dan sunnah karena mereka telah terbius oleh manifestasi cahayanya cahaya (riqq ar-rusum wal atsar li inmihaqihim fi tajalli nur al-anwar).
Yang semakna dengan definisi kebebasan untuk kalangan khassatul khassah ini ialah sebagian kalangan sufi yang mengatakan: Sesungguhnya Allah telah menciptakan kamu dalam kebebasan maka jadilah seperti dalam keadaan pertama kali kamu tercipta. (inna Allah kholaqaka hurran fa kun kama kholaqoka). Arti dari klausa jadilah seperti dalam keadaan pertama kali kamu tercipta.
Namun persoalan jadi lain ketika seorang hamba dalam perjalanan ruhaninya telah sampai kepada tingkat al-fana. Sampai di sini, pembahasan kaum sufi menjadi lain, tidak lagi soal kehambaan atau al-ubudiyyah tapi soal kebebasan atau al-hurriyyah. Lalu apa sebenarnya makna al-hurriyyah dalam pandangan kaum sufi?
Hakikat kebebasan, kata al-Qusyairi dalam ar-Risalah, terletak kepada kesempurnaan kebebasan (fi kamal al-hurriyyah). Secara lebih jauh lagi, al-Qusyairi mengutip pandangan al-Hallaj: al-Husain bin Mansur menjelaskan jika telah melewati tingkatan-tingkatan kehambaan (maqamat al-ubudiyyah) secara keseluruhan, seorang hamba akan terbebas dari beban kehambaan.
Karena dalam pandangan kaum sufi, setiap makna suatu kata itu selalu terbagi dua; makna untuk kalangan orang banyak atau kalangan awam dan makna untuk kalangan elite atau kalangan khassah, dan kadang dalam berbagai hal, ada makna lain yang ketiga, yakni makna untuk kalangan super elite (khasatul khassah), kebebasan pun selalui dimaknai menurut awam, khassah dan khassatul khassah.
Kebebasan untuk kalangan awam ialah kebebasan dari perbudakan nafsu dan syahwat (at-taharrur min ubudiyyat asy-syahawat). Kebebasan seperti ini hanya diperuntukan bagi para sufi pemula yang belum bisa dibedakan dari kalangan awam pada umumnya. Sedangkan kebebasan untuk kalangan khassah ialah kebebasan dari belenggu kehendak dan keinginan karena kehendak mereka sudah melebur atau fana dalam kehendak Yang Maha Benar (at-taharrur min riqqil muradat, lifanai iradatihim fi iradatil haqq).
Kebebasan jenis ini ialah kebebasan seorang sufi yang telah melewati semua tingkatan perjalanan spiritual dan telah mencapai tingkatan fana. Ketika sudah sampai ke tingkatan fana, sang sufi sudah terbebas dari belenggu-belenggu latihan spiritual, riyadah dan mujahadah.
Sedangkan jenis kebebasan yang ketiga, kebebasan yang dimiliki oleh kalangan khassatul khassah, kalangan super elite-nya para pendaki spritual menuju Allah, ialah kebebasan dari belenggu ibadah formal dan sunnah karena mereka telah terbius oleh manifestasi cahayanya cahaya (riqq ar-rusum wal atsar li inmihaqihim fi tajalli nur al-anwar).
Yang semakna dengan definisi kebebasan untuk kalangan khassatul khassah ini ialah sebagian kalangan sufi yang mengatakan: Sesungguhnya Allah telah menciptakan kamu dalam kebebasan maka jadilah seperti dalam keadaan pertama kali kamu tercipta. (inna Allah kholaqaka hurran fa kun kama kholaqoka). Arti dari klausa jadilah seperti dalam keadaan pertama kali kamu tercipta.
Jadi makna kebebasan bagi kalangan khassatul khassah ialah terbebas dari rusum, yaitu ibadah formal (takalif syariyyah) yang menjadi objek kajian fikih. Sebagian kalangan sufi memberikan justifikasi terhadap kebebasan dari beban ibadah formal dengan menegaskan bahwa kalangan khasatul khassah itu qod tajahwaru, yang artinya bahwa jiwa-jiwa kalangan khassatul khassah telah menjadi suci sehingga mereka menjadi substansi murni.
Berangkat dari sini, riyadah dan mujahadah tidak perlu lagi bagi kalangan khassatul khassah karena kewajiban riyadhah dan mujahadah tujuannya ialah untuk menyucikan jiwa dan ketika jiwa sudah menjadi suci, untuk apalagi proses mujahadah. Untuk lebih memperjelas, kita coba kutipkan pandangan Ibnu al-Jauzy dalam kitabnya yang terkenal, Talbis Iblis, demikian:
“ومنهم من داوموا على الرياضة مدة، فرأوا أنهم قد تجهوروا فقالوا: لا نبالي الآن ما عملنا، وإنما الأوامر والنواهي للعوام، ولو تجهوروا لسقطت عنهم. قالوا: وحاصل النبوة ترجع إلى الحكمة والمصلحة. والمراد منها ضبط العوام ولسنا من العوام فندخل في حجر التكليف لأنا قد تجهورنا وعرفنا الحكمة.”
“Di kalangan kaum sufi, ada yang melakukan riyadhah sebentar lalu mengklaim bahwa mereka telah menjadi substansi (tajahwaru). Mereka mengatakan: kami tak peduli dengan amalan-amalan. Perintah dan larangan agama hanya untuk kalangan awam. Ketika sudah menjadi substansi murni, mereka mengklaim telah bebas dari beban kehidupan. Lebih jauh lagi, bagi mereka ajaran kenabian memang hanya diberlakukan untuk hikmah dan kemaslahatan.
Maksud dari ajaran kenabian ialah untuk mendidik kalangan awam sementara mereka mengklaim: “kami bukan kalangan awam sehingga tidak bisa masuk ke dalam beban kehidupan karena kami telah menjadi substansi murni dan kami telah mengetahui hikmah kehidupan di dunia”.
Sampai di sini, klaim tajahwur memiliki kaitan erat dengan terbebasnya mereka dari beban kehidupan. Tajahwur artinya proses ketika jiwa menjadi substansi murni setelah melewati tahapan-tahapan mujahadah dan riyadhah yang memakan waktu lama. Jadi makna kemerdekaan bagi kaum sufi yang sudah mencapai tingkatan khassatul khassah ialah kemerdekaan dan kebebasan dari berbagai beban kehidupan dunia. (bincangsyariah.com)