Abu Madyan, mahaguru kaum sufi |
Abu Madyan, yang diyakini menempati peringat Qutb al-Awliya al-Ghauts al-Adhim, juga diakui sebagai Syaikh al-Masyayikh (Gurunya para guru). Beliau hidup sezaman dengan Wali agung lainnya, Syekh IBN ‘ARABI, dan bahkan Ibn Arabi berguru kepadanya secara spiritual, karena keduanya tidak pernah bertemu secara fisik – tetapi Syekh Ibn ‘Arabi sempat menziarahi makamnya di Tlemcen. Syekh Abu Madyan ini juga mempunyai murid lain yang kelak juga menjadi Qutub, Syekh Abdus Salam bin Masyisy, guru dari Syekh Abu Hasan Syadzili, pendiri tarekat Syadiziliyyah. Abu Madyan boleh dikatakan telah membentuk kecenderungan utama aliran Tasawuf di kawasan Maghribi.
Syekh Abu Madyan pertama kali dibaiat ke jalan Sufi oleh Syekh Abdullah al-Daqaq, seorang sufi eksentrik yang sering berkeliaran di jalan-jalan dan berteriak mengaku-aku dirinya Wali Allah, dan oleh Syekh Abu Hasan al-Salawi, seorang sufi misterius. Kepada Syekh al-Daqqaq, seorang Wali Allah yang aneh dan luar biasa, Abu Madyan mendalami kandungan kitab Tasawuf penting, ar-Risalah karya Abu Al-Qasim Al-Qusyairi. Syekh Abu Madyan juga berteman dan berguru kepada Syekh Ahmad Rifa’i, seorang Wali Qutub pendiri Tarekat Rifa’iyyah di Irak. Meski disebut2 ketenaran dan signifikansinya sejajar dengan Syekh Abdul Qadir Jailani, Syekh Abu Madyan mengakui dan tunduk pada ucapan syatahat Syekh Abdul Qadir Jailani, “Kakiku berada di atas bahu Awliya Allah” dan salah satu riwayat mengatakan beliau menerima ijazah ruhaniah dari Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
Melalui jalur Abu Madyan inilah di kawasan maghribi muncul sufi-sufi besar yg menjadi poros2 utama kewalian di kawasan maghribi dan sekitarnya. Syekh Ahmad Rifa’i, guru dari Syekh ABu Madyan, juga dikenal sebagai sufi yg eksentrik. Tarekatnya dianggap agak aneh karena cara zikirnya yang terdengar seperti meraung atau seperti suara gergaji. Pengikut Tarekat Rifaiyyah belakangan lebih dikenal karena kekuatan dan keajaiban-keajaiban mereka, seperti kebal senjata, kebal racun dan sebagainya.
Tentu saja, efek-efek ini menyebabkan tarekat ini rawan diselewengkan oleh orang-orang yg tidak bertanggung jawba, sehingga sebagian sufi secara tegas mengecam penyimpangan tersebut tersebut. Namun apapun penyelewengan itu, ajaran dan amalan Syekh Ahmad Rifai sesungguhnya adalah amalan tarekat yang mu’tabar, atau sesuai dengan Qur’an dan Sunnah Nabi.
Jadi pada periode sesudah Syekh Abu Hamid al-Ghazali ini mulai berkembang bentuk baru organisasi tarekat yang strukturnya lebih kompleks. Perkembangan ini barangkali adalah keniscayaan sebab pada masa itu mulai banyak sekali orang Islam yg menempuh jalan ruhani (tasawuf). Sebagaimana lazimnya sesuatu yang menjadi besar, selalu ada penyimpangan-penyimpangan yg dilakukan oleh sufi-sufi palsu. Karenanya, sebagian syekh Sufi merasa perlu “melembagakan” ajarannya dalam satu wadah di mana otoritas mursyid yg kamil-mukammil bertindak sebagai pembimbing sekaligus penjaga agar pengikut mereka tidak menyeleweng. Tetapi itu bukan berarti bahwa sufi-sufi yang berada di luar organisasi tarekat tidak menjalankan amalan tarekat – sebab tarekat dalam pengertian yg lebih umum adalah “Jalan” ruhani itu sendiri.
Apapun efeknya, organisasi tarekat telah membuka kesempatan baru bagi orang-orang Islam yang tidak menemukan akses ke wali-wali Allah yg biasanya tersembunyi. Kemunculan wali-wali masyhur di dalam organisasi tarekat menambah semarak perkembangan keruhanian Islam. Sebagian dari alasan meningkatnya popularitas tarekat paada saat itu adalah karena kondisi sosial politik di dunia ISlam sedang mengalami pergolakan hebat, setelah pasukan Salib mulai merangsek ke wilayah kekuasaan kekhalifahan Islam. Banyak murshid-murshid tarekat dan sufi-sufi individual yg terlibat langsung dalam peperangan itu.
Jadi pada periode sesudah Syekh Abu Hamid al-Ghazali ini mulai berkembang bentuk baru organisasi tarekat yang strukturnya lebih kompleks. Perkembangan ini barangkali adalah keniscayaan sebab pada masa itu mulai banyak sekali orang Islam yg menempuh jalan ruhani (tasawuf). Sebagaimana lazimnya sesuatu yang menjadi besar, selalu ada penyimpangan-penyimpangan yg dilakukan oleh sufi-sufi palsu. Karenanya, sebagian syekh Sufi merasa perlu “melembagakan” ajarannya dalam satu wadah di mana otoritas mursyid yg kamil-mukammil bertindak sebagai pembimbing sekaligus penjaga agar pengikut mereka tidak menyeleweng. Tetapi itu bukan berarti bahwa sufi-sufi yang berada di luar organisasi tarekat tidak menjalankan amalan tarekat – sebab tarekat dalam pengertian yg lebih umum adalah “Jalan” ruhani itu sendiri.
Abu Madyan |
Apapun efeknya, organisasi tarekat telah membuka kesempatan baru bagi orang-orang Islam yang tidak menemukan akses ke wali-wali Allah yg biasanya tersembunyi. Kemunculan wali-wali masyhur di dalam organisasi tarekat menambah semarak perkembangan keruhanian Islam. Sebagian dari alasan meningkatnya popularitas tarekat paada saat itu adalah karena kondisi sosial politik di dunia ISlam sedang mengalami pergolakan hebat, setelah pasukan Salib mulai merangsek ke wilayah kekuasaan kekhalifahan Islam. Banyak murshid-murshid tarekat dan sufi-sufi individual yg terlibat langsung dalam peperangan itu.
Syekh Abu Madyan, misalnya, ikut membantu perang melawan tentara Salin dari kelompok pasukan Perancis di sekitar Maroko, dan berperan penting dalam kemenangan pasukan Islam di sana. Kaum sufi, baik di dalam dan di luar organisasi tarekat, berdasar fakta sejarah sesungguhnya berperan penting dalam pengembangan potensi ekonomi, sosial, poliitk dan ilmu pengetahuan di dalam peradaban Islam. Namun peran sosial mereka yg penting itu sering terlupakan, atau sengaja disembunyikan oleh kelompok anti-Tasawuf – terutama karena kebanyakan pengikut tarekat atau sufi yang terkenal lebih menonjol dalam bidang keruhanian dan lebih ketat dalam menjalani kehidupan yg zuhud, serta karena karamah-karamah mereka lebih memikat untuk dikisahkan ketimbang peran ekononi dan sosial-politik mereka.Peran-peran sosial atau peran “horisontal” mereka semakin jelas dalam perkembangan sesudah tahun 1100-an M.
Selain perkembangan tarekat-tarekat, dunia Tasawuf juga diwarnai oleh perkembangan pemikiran mistis/makrifat yang luar biasa. Periode menjelang abad 13 M, atau akhir era 1100-an adalah era di mana hampir semua bidang peradaban Islam sedang mengalami kejayaan sekaligus melahirkan benih-benih bayang-bayang kesuraman peradaban Islam. Kemajuan sisi lahiriah di bidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan sebagainya diimbangi oleh lahirnya kemajuan ruhani. Namun pada masa ini perkembangan paling menonjol selain tarekat adalahmunculnya sufi-sufi besar yang menulis literatur yang “abadi,” yang sangat memengaruhi dunia Tasawuf dan dunia Islam pada umumnya sampai ke abad 21 – dan barangkali akan masih terus berpengaruh hingga di abad-abad mendatang. Tokoh-tokoh sufi yang agung pada periode ini antara lain Fariduddin Attar (wafat 1220), Ibn al-Farid sang penyair mistis (wafat 1235), Syekh Akbar Ibn Arabi, penggagas “konsep” wahdatul wujud, Jalaluddin Rumi sang penyair cinta mistis terbesar sepanjang sejarah Islam (w. 1273) dan al-Iraqi, penyair penerus tradisi wahdatul wujud.
Pada tanggal 28 Juli 1165 lahirlah seorang anak manusia yang kemudian dikenal sebagai Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn al Arabi al Ta’i al Hatimi atau lebih populer dengan nama Ibn Arabi. Beliau dikemudian hari lebih dikenal sebagai seoarang sufi dari andalusia, dan diberi gelar Muhyidin (Penghidup agama) dan Syaikh al Akbar (Syaikh Agung). Karya karya yang lahir darinya terutama dari dua kitabnya yang monumental Fushush al Hikam dan Futuhat al Makkiyyah telah mempengaruhi sudut pandang kaum muslimin dalam memahami agamanya, yang diridhai Allah (Islam). Pemikiran Ibn Arabi adalah pemikiran yang telah mempengaruhi salah satu cara pandang kita dalam melihat otosentisitas Islam (Tauhid).
Gagasan gagasan dasar ajaran Ibn Arabi telah menimbulkan reaksi yang luas di kalangan kaum muslimin, yang pro maupun yang kontra. Yang tidak setuju menuduh bahwa ajarannya merupakan panteisme. Yang pro justru menganggap ajaran ini merupakan ajaran yang tinggi dan sangat radikal dalam interpretasinya mengenai tauhid. Ibn Arabi lebih dikenal sebagai tokoh ajaran wahdatul wujud, yang sering disalah tafsirkan sebagai ajaran yang menekankan pada aspek imanensi mutlak Tuhan.
Namun sesungguhnya Ibn Arabi tidak menekankan imanensi Tuhan semata, namun juga transendensi-Nya. Menurut beliau: dilihat dari sisi tasybih, Tuhan adalah identik, atau lebih tepat serupa dan satu dengan alam walaupun kedua duanya tidak setara karena Dia, melalui nama nama Nya, menampakkan diri Nya dalam alam. Tetapi dilihat dari sisi tanzih, Tuhan berbeda sama sekali dengan alam karena Dia adalah Dzat Mutlak yang tidak terbatas, di luar alam nisbi yang terbatas. Ide ini dirumuskan oleh ibn Arabi dengan ungkapan singkat ‘huwa la huwa’. Tuhan adalah imanen (tasybih) dan transenden (tanzih) sekaligus.
Dalam doktrin wahdat al wujud Tuhan betul betul esa karena tidak ada wujud, yaitu wujud hakiki kecuali Tuhan; wujud hanya milik Tuhan. Alam tidak lebih dari penampakan Nya. Doktrin ini mengakui hanya satu wujud atau realitas karena mengakui dua jenis wujud atau realitas yang sama sekali independen berarti memberikan tempat kepada syirik atau politeisme. Doktrin wahdat al wujud ibn Arabi mempunyai posisi yang kuat karena didukung oleh atau bersumber dari ayat ayat Al Qur’an dan Hadis Nabi SAW.
Wahdat al Wujud Menurut Syaikh Akbar Ibnu al Arabi benar benar merupakan pemikiran genius di zamannya. Karya karyanya telah membuktikan hal itu. Ibn al Arabi mengungkapkan ajaran ajaran dan berbagai pandangan genarasi sufi yang mendahuluinya secara sistematis dan rinci. Ibn Arabi adalah jembatan atau penghubung antar dua fase historis Islam dan tasawuf dan penghubung antara tasawuf Barat dan Timur.
Menurut Ibn Arabi, dalam hadis Qudsi, Allah berfirman, Aku adalah harta simpanan tersembunyi, karena itu Aku rindu untuk dikenal. Maka aku ciptakan makhluk, sehingga melalui Ku mereka mengenal Ku. [hadits Qudsi] Allah adalah “harta simpanan tersembunyi” (kanz makhfiyan), yang tidak dapat dikenal kecuali melalui alam. Maka alam adalah cermin bagi Tuhan, yang dengannya Ia mengenal dan memperkenalkan ‘Wajah Nya’. Kanz makhfi, dengan demikian adalah ‘Yang ‘Tersembunyi dari Yang Tersembunyi’, Dzaat, yang tidak dapat dijangkau oleh siapapun ditinjau dari segi Dzaat Nya. Misteri Dzaat, yang tersembunyi ini berakibat “kerinduan” dan “kesepian”. Dalam “kerinduan” dan “kesepian” primordial ini membuat Dia rindu untuk dikenal. Maka Ia pun ber ‘tajalli’. Tajalli Al Haqq adalah penampakan diri Nya dengan menciptakan alam. Tajalli Al Haqq terjadi dalam bentuk bentuk yang tidak terbatas jumlahnya. Alam berubah setiap saat, terus menerus tanpa henti. Setiap waktu Dia dalam kesibukan (Q.S.55;29). Seperti yang dikatakan oleh Ibn Arabi; “Sesungguhnya Allah Subhanahu selama lamanya tidak melakukan tajalli dalam satu bentuk bagi dua individu atau pribadi, dan tidak pula dalam satu bentuk dua kali.”
Tajalli Nya adalah pemberian Nya yang telah ditetapkan sejak Azali, persis seperti yang ada dalam A’yan tsabitah, Pengetahuan Abadi dalam Hakikat Tuhan. Jadi hakikat yang sebenarnya dari setiap segala sesuatu yang berasal dari tajaliyyat Nya selalu ada, yakni dari dalam kedalaman batin Wujud Nya (Potensi Abadi Nya), yang merupakan Ilmu Nya (pengetahuan Nya) yang tetap dan abadi (a’yan tsabitah). Dari sudut padang ini, dunia pada hakekatnya merupakan perwujudan (manifestasi) Tuhan, namun dalam Diri Nya, yakni dalam Dzat Nya, Dia terlepas dari setiap perwujudan itu sendiri. A’yan tsabitah pada dasarnya hanyalah potensi abadi yang karena sifatnya itu ia bisa menjadi aktual atau bisa juga tidak. Karenanya, ‘Kemungkinan’ (Potensialitas) itulah yang sesungguhnya nyata. Dan karena itulah, a’yan tsabita tetap tidak berubah dan “tidak ada” secara aktual dalam ilmu Tuhan. Meskipun disifati dengan kepermanenan, ia tidak disifati dengan wujud, yakni ia tetap dalam keadaan yang disifati dengan ketiadaan yang dimiliki oleh yang mungkin, bukan oleh yang tidak mungkin. Jadi, A’yan tsabita, dalam ketiadaannya siap menerima wujud. (Fusus al Hikam). Dalam Futuhat al Makiyyah mengenai hal ini dikatakan:
Ilmu Al Haqq tentang Diri Nya sama dengan ilmu Nya tentang alam karena alam selama lamanya disaksikan Nya, meskipun alam disifati dengan ketiadaan. Sedangkan alam tidak disaksikan oleh dirinya [sendiri] karena ia tidak ada. Ini adalah lautan tempat binasanya para pemikir teoritis, yaitu orang orang yang tidak diberi kasyaf. Diri Nya selama lamanya ada, maka ilmu Nya selama lamanya ada pula. Ilmu Nya tentang Diri Nya adalah ilmu Nya tentang alam;karena itu ilmu Nya tentang alam selama lamanya ada. Jadi Dia mengetahui alam dalam ketiadaannya. Dia mewujudkan alam menurut bentuk Nya dalam ilmu Nya. Karena itu, alam tidak pernah ada ‘diluar’ Tuhan yakni; tidak ada dalam wujud kecuali Allah dan sifat sifat dari a’yan, dan tidak ada sesuatu pun dalam adam [ketiadaan] kecuali entitas entitas mumkinat (kemungkinan) yang dipersiapkan untuk diberi wujud. (Futuhat)
Dengan demikian, alam semesta dan semua yang terkandung di dalamnya adalah wujud, dan pada saat yang sama adalah tak berwujud (adum). Dengan cara yang sama, Tuhan selalu meliputi alam dan juga mengatasi alam. Dia sekaligus transenden dan imanen, tanzih dan tasybih, seperti yang dikatakan oleh Ibn Arabi sendiri:
Allah Ta’ala berfirman, Laysa kamitslihi bi syai, maka dengan demikian Dia menyatakan Tanzih Nya; wa huwa al sami’al bashir, maka dengan demikian Dia menyatakan Tasybih Nya.
Gaung gagasan Ibn Arabi melampaui batas-batas geografis dunia Islam. Gagasannya dengan cepat menyebar dari Afrika sampai ke anak benua India, kemudian masuk ke Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia. Sebagian pengikut Ibn ‘Arabi di era yg lebih modern menyebarkannya ke Eropa dan Amerika, hingga ke Amerika Selatan dan Amerika Latin. Di Inggris didirikan Ibn Arabi Society, yang berpusat di Oxford. Sebelumnya, Rauf dari Turki mendirikan Beshara, dan Rauf sendiri menerjemahkan sebagian karya Ibn Arabi, terutama Fusush al-Hikam ke dalam bahasa Inggris.
Selain memengaruhi kajian spiritualitas Islam, gagasan Ibn Arabi juga memengaruhi filsafat Islam pada umumnya, seni Islam (arsitektur, musik, dan sastra) dan sebagainya. Salah satu contoh luar biasa dari penerapan gagasan kosmologi mistis Ibn Arabi ke dalam wilayah aristektur adalah bangunan Taj Mahal di India. Bangunan indah ini dibangun berdasarkan prinsip keselarasan geometris struktur kosmos ruhani dan makrokosmos lahiriah dan perhitungan astronomi yang rumit.
Lahu Al-Faatihah
Sumber : Habib Muhammad Ali Al-‘Athos//dari catatan Fahmi Ali
Selain perkembangan tarekat-tarekat, dunia Tasawuf juga diwarnai oleh perkembangan pemikiran mistis/makrifat yang luar biasa. Periode menjelang abad 13 M, atau akhir era 1100-an adalah era di mana hampir semua bidang peradaban Islam sedang mengalami kejayaan sekaligus melahirkan benih-benih bayang-bayang kesuraman peradaban Islam. Kemajuan sisi lahiriah di bidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan sebagainya diimbangi oleh lahirnya kemajuan ruhani. Namun pada masa ini perkembangan paling menonjol selain tarekat adalahmunculnya sufi-sufi besar yang menulis literatur yang “abadi,” yang sangat memengaruhi dunia Tasawuf dan dunia Islam pada umumnya sampai ke abad 21 – dan barangkali akan masih terus berpengaruh hingga di abad-abad mendatang. Tokoh-tokoh sufi yang agung pada periode ini antara lain Fariduddin Attar (wafat 1220), Ibn al-Farid sang penyair mistis (wafat 1235), Syekh Akbar Ibn Arabi, penggagas “konsep” wahdatul wujud, Jalaluddin Rumi sang penyair cinta mistis terbesar sepanjang sejarah Islam (w. 1273) dan al-Iraqi, penyair penerus tradisi wahdatul wujud.
Pada tanggal 28 Juli 1165 lahirlah seorang anak manusia yang kemudian dikenal sebagai Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn al Arabi al Ta’i al Hatimi atau lebih populer dengan nama Ibn Arabi. Beliau dikemudian hari lebih dikenal sebagai seoarang sufi dari andalusia, dan diberi gelar Muhyidin (Penghidup agama) dan Syaikh al Akbar (Syaikh Agung). Karya karya yang lahir darinya terutama dari dua kitabnya yang monumental Fushush al Hikam dan Futuhat al Makkiyyah telah mempengaruhi sudut pandang kaum muslimin dalam memahami agamanya, yang diridhai Allah (Islam). Pemikiran Ibn Arabi adalah pemikiran yang telah mempengaruhi salah satu cara pandang kita dalam melihat otosentisitas Islam (Tauhid).
Gagasan gagasan dasar ajaran Ibn Arabi telah menimbulkan reaksi yang luas di kalangan kaum muslimin, yang pro maupun yang kontra. Yang tidak setuju menuduh bahwa ajarannya merupakan panteisme. Yang pro justru menganggap ajaran ini merupakan ajaran yang tinggi dan sangat radikal dalam interpretasinya mengenai tauhid. Ibn Arabi lebih dikenal sebagai tokoh ajaran wahdatul wujud, yang sering disalah tafsirkan sebagai ajaran yang menekankan pada aspek imanensi mutlak Tuhan.
Namun sesungguhnya Ibn Arabi tidak menekankan imanensi Tuhan semata, namun juga transendensi-Nya. Menurut beliau: dilihat dari sisi tasybih, Tuhan adalah identik, atau lebih tepat serupa dan satu dengan alam walaupun kedua duanya tidak setara karena Dia, melalui nama nama Nya, menampakkan diri Nya dalam alam. Tetapi dilihat dari sisi tanzih, Tuhan berbeda sama sekali dengan alam karena Dia adalah Dzat Mutlak yang tidak terbatas, di luar alam nisbi yang terbatas. Ide ini dirumuskan oleh ibn Arabi dengan ungkapan singkat ‘huwa la huwa’. Tuhan adalah imanen (tasybih) dan transenden (tanzih) sekaligus.
Dalam doktrin wahdat al wujud Tuhan betul betul esa karena tidak ada wujud, yaitu wujud hakiki kecuali Tuhan; wujud hanya milik Tuhan. Alam tidak lebih dari penampakan Nya. Doktrin ini mengakui hanya satu wujud atau realitas karena mengakui dua jenis wujud atau realitas yang sama sekali independen berarti memberikan tempat kepada syirik atau politeisme. Doktrin wahdat al wujud ibn Arabi mempunyai posisi yang kuat karena didukung oleh atau bersumber dari ayat ayat Al Qur’an dan Hadis Nabi SAW.
Wahdat al Wujud Menurut Syaikh Akbar Ibnu al Arabi benar benar merupakan pemikiran genius di zamannya. Karya karyanya telah membuktikan hal itu. Ibn al Arabi mengungkapkan ajaran ajaran dan berbagai pandangan genarasi sufi yang mendahuluinya secara sistematis dan rinci. Ibn Arabi adalah jembatan atau penghubung antar dua fase historis Islam dan tasawuf dan penghubung antara tasawuf Barat dan Timur.
Menurut Ibn Arabi, dalam hadis Qudsi, Allah berfirman, Aku adalah harta simpanan tersembunyi, karena itu Aku rindu untuk dikenal. Maka aku ciptakan makhluk, sehingga melalui Ku mereka mengenal Ku. [hadits Qudsi] Allah adalah “harta simpanan tersembunyi” (kanz makhfiyan), yang tidak dapat dikenal kecuali melalui alam. Maka alam adalah cermin bagi Tuhan, yang dengannya Ia mengenal dan memperkenalkan ‘Wajah Nya’. Kanz makhfi, dengan demikian adalah ‘Yang ‘Tersembunyi dari Yang Tersembunyi’, Dzaat, yang tidak dapat dijangkau oleh siapapun ditinjau dari segi Dzaat Nya. Misteri Dzaat, yang tersembunyi ini berakibat “kerinduan” dan “kesepian”. Dalam “kerinduan” dan “kesepian” primordial ini membuat Dia rindu untuk dikenal. Maka Ia pun ber ‘tajalli’. Tajalli Al Haqq adalah penampakan diri Nya dengan menciptakan alam. Tajalli Al Haqq terjadi dalam bentuk bentuk yang tidak terbatas jumlahnya. Alam berubah setiap saat, terus menerus tanpa henti. Setiap waktu Dia dalam kesibukan (Q.S.55;29). Seperti yang dikatakan oleh Ibn Arabi; “Sesungguhnya Allah Subhanahu selama lamanya tidak melakukan tajalli dalam satu bentuk bagi dua individu atau pribadi, dan tidak pula dalam satu bentuk dua kali.”
Tajalli Nya adalah pemberian Nya yang telah ditetapkan sejak Azali, persis seperti yang ada dalam A’yan tsabitah, Pengetahuan Abadi dalam Hakikat Tuhan. Jadi hakikat yang sebenarnya dari setiap segala sesuatu yang berasal dari tajaliyyat Nya selalu ada, yakni dari dalam kedalaman batin Wujud Nya (Potensi Abadi Nya), yang merupakan Ilmu Nya (pengetahuan Nya) yang tetap dan abadi (a’yan tsabitah). Dari sudut padang ini, dunia pada hakekatnya merupakan perwujudan (manifestasi) Tuhan, namun dalam Diri Nya, yakni dalam Dzat Nya, Dia terlepas dari setiap perwujudan itu sendiri. A’yan tsabitah pada dasarnya hanyalah potensi abadi yang karena sifatnya itu ia bisa menjadi aktual atau bisa juga tidak. Karenanya, ‘Kemungkinan’ (Potensialitas) itulah yang sesungguhnya nyata. Dan karena itulah, a’yan tsabita tetap tidak berubah dan “tidak ada” secara aktual dalam ilmu Tuhan. Meskipun disifati dengan kepermanenan, ia tidak disifati dengan wujud, yakni ia tetap dalam keadaan yang disifati dengan ketiadaan yang dimiliki oleh yang mungkin, bukan oleh yang tidak mungkin. Jadi, A’yan tsabita, dalam ketiadaannya siap menerima wujud. (Fusus al Hikam). Dalam Futuhat al Makiyyah mengenai hal ini dikatakan:
Ilmu Al Haqq tentang Diri Nya sama dengan ilmu Nya tentang alam karena alam selama lamanya disaksikan Nya, meskipun alam disifati dengan ketiadaan. Sedangkan alam tidak disaksikan oleh dirinya [sendiri] karena ia tidak ada. Ini adalah lautan tempat binasanya para pemikir teoritis, yaitu orang orang yang tidak diberi kasyaf. Diri Nya selama lamanya ada, maka ilmu Nya selama lamanya ada pula. Ilmu Nya tentang Diri Nya adalah ilmu Nya tentang alam;karena itu ilmu Nya tentang alam selama lamanya ada. Jadi Dia mengetahui alam dalam ketiadaannya. Dia mewujudkan alam menurut bentuk Nya dalam ilmu Nya. Karena itu, alam tidak pernah ada ‘diluar’ Tuhan yakni; tidak ada dalam wujud kecuali Allah dan sifat sifat dari a’yan, dan tidak ada sesuatu pun dalam adam [ketiadaan] kecuali entitas entitas mumkinat (kemungkinan) yang dipersiapkan untuk diberi wujud. (Futuhat)
Dengan demikian, alam semesta dan semua yang terkandung di dalamnya adalah wujud, dan pada saat yang sama adalah tak berwujud (adum). Dengan cara yang sama, Tuhan selalu meliputi alam dan juga mengatasi alam. Dia sekaligus transenden dan imanen, tanzih dan tasybih, seperti yang dikatakan oleh Ibn Arabi sendiri:
Allah Ta’ala berfirman, Laysa kamitslihi bi syai, maka dengan demikian Dia menyatakan Tanzih Nya; wa huwa al sami’al bashir, maka dengan demikian Dia menyatakan Tasybih Nya.
Gaung gagasan Ibn Arabi melampaui batas-batas geografis dunia Islam. Gagasannya dengan cepat menyebar dari Afrika sampai ke anak benua India, kemudian masuk ke Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia. Sebagian pengikut Ibn ‘Arabi di era yg lebih modern menyebarkannya ke Eropa dan Amerika, hingga ke Amerika Selatan dan Amerika Latin. Di Inggris didirikan Ibn Arabi Society, yang berpusat di Oxford. Sebelumnya, Rauf dari Turki mendirikan Beshara, dan Rauf sendiri menerjemahkan sebagian karya Ibn Arabi, terutama Fusush al-Hikam ke dalam bahasa Inggris.
Selain memengaruhi kajian spiritualitas Islam, gagasan Ibn Arabi juga memengaruhi filsafat Islam pada umumnya, seni Islam (arsitektur, musik, dan sastra) dan sebagainya. Salah satu contoh luar biasa dari penerapan gagasan kosmologi mistis Ibn Arabi ke dalam wilayah aristektur adalah bangunan Taj Mahal di India. Bangunan indah ini dibangun berdasarkan prinsip keselarasan geometris struktur kosmos ruhani dan makrokosmos lahiriah dan perhitungan astronomi yang rumit.
Lahu Al-Faatihah
Sumber : Habib Muhammad Ali Al-‘Athos//dari catatan Fahmi Ali