Bulan ini adalah bulan di mana Allah memuliakan dan Rasulullah serta para sahabatnya mengagungkannya. Sepatutnya juga kita mengagungkan bulan ini dengan meningkatkan ibadah dan amal shalih, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Di dalam syariat Islam telah dijelaskan kemuliaan/keagungan bulan Muharram. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. AT Taubah: 36)
Empat bulan suci tersebut adalah bulan Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Sebagaiman sabda Rasulullah yang artinya :
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. AT Taubah: 36)
Empat bulan suci tersebut adalah bulan Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Sebagaiman sabda Rasulullah yang artinya :
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ
وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Satu tahun itu ada 12 bulan. Di antaranya ada 4 bulan haram, yaitu 3 bulan berturut-turut, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram serta Rajab yang berada di antara bulan jumada dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no 2958).
Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Di namakan bulan haram Karena ada 2 alasan. Pertama, karena diharamkan pembunuhan pada bulan tersebut sebagaiman hal ini juga diyakini orang jahiliyyah. Kedua, karena pelanggaran untuk melakukan berbagai perbuatan haram pada bulan tersebut lebih keras dari pada bulan-bulan lainnya. (lihat Zadul Maysir, Ibnu Jauziy).
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma menjelaskan tentang firman Allah surah at-taubah ayat 36 di atas, “Allah menghusukan 4 bulan yang haram dan menegaskan keharamnnya. Allah juga menjadikan dosa pada bulan tersebut lebih besar. demikian pula pahala amal saleh pada bulan tersebut juga menjadi lebih besar.
Sangat disayangkan sebagian kaum muslimin masih percaya dengan berbagi mitos tentang bulan suro. misalnya, masih banyak yang takut mengadakan acara pernikahan di bulan suro dengan alasan bisa mendatangkan sial, seperti perceraian, dililit utang, atau yang lain. ada yang takut bepergian jauh di bulan suro dengan alasan bisa mendatangkan sial, seperti kecelakan, kematian, kerugian, atau yang lain. mereka menunda aktivitasnya ke bulan yang lainnya.
Semua ahli tafsir sepakat bahwa empat bulan yang tersebut dalam ayat di atas adalah Zulqa’dah, Zul-Hijjah, Muharram dan Rajab.
Ketika haji wada’ Rasulallah bersabda : Dari Abi Bakrah RA bahwa Nabi bersabda: “Setahun ada dua belas bulan, empat darinya adalah bulan suci. Tiga darinya berturut-turut; Zulqa’dah, Zul-Hijjah, Muharram dan Rajab”. (HR. Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad).
Dalam hadist di atas Nabi SAW hanya menyebut nama empat bulan, dan ini bukan berarti selain dari nama bulan yang disebut di atas tidak suci, karena bulan Ramadhan tidak disebutkan dalam hadist diatas. Dan kita semua tahu bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan kesucian, ada Lailatul Qadar (malam kemuliaan), juga dinamakan dengan bulan rahmat, maghfirah dan pembebasan dari api neraka.
Ibnu Rajab al-Hambali ( 736 – 795 H ) mengatakan, Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah) karena memiliki dua hikmah. Pertama, untuk menunjukkan keutamaan dan kemuliaan bulan Muharram. Kedua, untuk menunjukkan otoritas Allah SWT dalam mensucikankan dan memuliakan bulan Muharram.
Karakteristik bulan Muharram
Bulan Muharram memiliki karakteristik tersendiri, yakni:
“Satu tahun itu ada 12 bulan. Di antaranya ada 4 bulan haram, yaitu 3 bulan berturut-turut, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram serta Rajab yang berada di antara bulan jumada dan Sya’ban.” (HR. Bukhari no 2958).
Al Qodhi Abu Ya’la rahimahullah mengatakan, “Di namakan bulan haram Karena ada 2 alasan. Pertama, karena diharamkan pembunuhan pada bulan tersebut sebagaiman hal ini juga diyakini orang jahiliyyah. Kedua, karena pelanggaran untuk melakukan berbagai perbuatan haram pada bulan tersebut lebih keras dari pada bulan-bulan lainnya. (lihat Zadul Maysir, Ibnu Jauziy).
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma menjelaskan tentang firman Allah surah at-taubah ayat 36 di atas, “Allah menghusukan 4 bulan yang haram dan menegaskan keharamnnya. Allah juga menjadikan dosa pada bulan tersebut lebih besar. demikian pula pahala amal saleh pada bulan tersebut juga menjadi lebih besar.
Sangat disayangkan sebagian kaum muslimin masih percaya dengan berbagi mitos tentang bulan suro. misalnya, masih banyak yang takut mengadakan acara pernikahan di bulan suro dengan alasan bisa mendatangkan sial, seperti perceraian, dililit utang, atau yang lain. ada yang takut bepergian jauh di bulan suro dengan alasan bisa mendatangkan sial, seperti kecelakan, kematian, kerugian, atau yang lain. mereka menunda aktivitasnya ke bulan yang lainnya.
Semua ahli tafsir sepakat bahwa empat bulan yang tersebut dalam ayat di atas adalah Zulqa’dah, Zul-Hijjah, Muharram dan Rajab.
Ketika haji wada’ Rasulallah bersabda : Dari Abi Bakrah RA bahwa Nabi bersabda: “Setahun ada dua belas bulan, empat darinya adalah bulan suci. Tiga darinya berturut-turut; Zulqa’dah, Zul-Hijjah, Muharram dan Rajab”. (HR. Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad).
Dalam hadist di atas Nabi SAW hanya menyebut nama empat bulan, dan ini bukan berarti selain dari nama bulan yang disebut di atas tidak suci, karena bulan Ramadhan tidak disebutkan dalam hadist diatas. Dan kita semua tahu bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan kesucian, ada Lailatul Qadar (malam kemuliaan), juga dinamakan dengan bulan rahmat, maghfirah dan pembebasan dari api neraka.
Ibnu Rajab al-Hambali ( 736 – 795 H ) mengatakan, Muharram disebut dengan syahrullah (bulan Allah) karena memiliki dua hikmah. Pertama, untuk menunjukkan keutamaan dan kemuliaan bulan Muharram. Kedua, untuk menunjukkan otoritas Allah SWT dalam mensucikankan dan memuliakan bulan Muharram.
Karakteristik bulan Muharram
Bulan Muharram memiliki karakteristik tersendiri, yakni:
Karakteristik Pertama: Menguatkan Kembali Semangat Hijrah
Setiap memasuki tahun baru Islam, kita hendaknya memiliki semangat baru untuk merancang dan melaksanakan hidup ini secara lebih baik. Besok harus lebih baik dari hari ini. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Kita ini hanya terikat oleh tiga masa. Masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Tahun hijriyah mulai diberlakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Sistem penanggalan Islam itu tidak mengambil nama ‘Tahun Muhammad’ atau ‘Tahun Umar’. Artinya, tidak mengandung unsur pemujaan seseorang atau penonjolan personifikasi, tidak seperti sistem penanggalan Tahun Masehi yang diambil dari gelar Nabi Isa, Al-Masih (Arab) atau Messiah (Ibrani).
Penetapan nama Tahun Hijriyah (al-Sanah al-Hijriyah) merupakan kebijaksanaan Khalifah Umar. Seandainya ia berambisi untuk mengabadikan namanya dengan menamakan penanggalan itu dengan Tahun Umar sangatlah mudah baginya melakukan itu. Umar tidak mementingkan keharuman namanya atau membanggakan dirinya sebagai pencetus ide sistem penanggalaan Islam itu. Ia malah menjadikan penanggalan itu sebagai zaman baru pengembangan Islam, karena penanggalan itu mengandung makna spiritual dan nilai historis yang amat tinggi nilainya bagi agama dan umat Islam.
Selain Umar, orang yang berjasa dalam penanggalan Tahun Hijriyah adalah Ali bin Abi Thalib. Beliaulah yang mencetuskan pemikiran agar penanggalan Islam dimulai penghitungannya dari peristiwa hijrah, saat umat Islam meninggalkan Makkah menuju Yatsrib (Madinah).
Dalam sejarah hijrah nabi dari Makkah ke madinah terlihat jalinan ukhuwah kaum Ansor dan Muhajirin yang melahirkan integrasi umat Islam yang angat kokoh. Kaum Muhajirin-Anshar membuktikan, ukhuwah Islamiyah bisa membawa umat Islam jaya, kuat dan disegani.
Dari situlah mengapa konsep dan hikmah hijrah perlu dikaji ulang dan diamalkan oleh umat Islam. Setiap pergantian waktu, hari demi hari hingga tahun demi tahun, biasanya memunculkan harapan baru akan keadaan yang lebih baik.
Islam mengajarkan, hari-hari yang kita lalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Dengan kata lain, setiap Muslim dituntut untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari. Hadis Rasulullah yang sangat populer menyatakan, ‘‘Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang beruntung”. Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi, dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin, adalah orang celaka.”
Karakteristik Kedua: Di sunnahkan berpuasa
Pada zaman Rasulullah, orang Yahudi juga mengerjakan puasa pada hari ‘asyuura. Mereka mewarisi hal itu dari Nabi Musa AS.
Dari Ibnu Abbas RA, ketika Rasulullah صلى الله عليه و سلم tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa. Rasulullah صلى الله عليه و سلم bertanya, “Hari apa ini? Mengapa kalian berpuasa?” Mereka menjawab, “Ini hari yang agung, hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun. Maka Musa berpuasa sebagai tanda syukur, maka kami pun berpuasa. “Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda, “Kami orang Islam lebih berhak dan lebih utama untuk menghormati Nabi Musa daripada kalian.” (HR. Abu Daud).
Puasa Muharram merupakan puasa yang paling utama setelah puasa bulan Ramadhan.
Rasululllah صلى الله عليه و سلم bersabda: Dari Abu Hurairah RA, Rasululllah صلى الله عليه و سلم bersabda: “Sebaik-baik puasa setelah puasa ramadhan adalah puasa dibulan muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR. Muslim, Abu Daud, Tarmizi, dan Nasa’i ).
Puasa pada bulan Muharram yang sangat dianjurkan adalah pada hari yang kesepuluh, yaitu yang lebih dikenal dengan istilah ‘asyuura.
Aisyah RA pernah ditanya tentang puasa ‘asyuura, ia menjawab, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah صلى الله عليه و سلم puasa pada suatu hari yang beliau betul-betul mengharapkan fadilah pada hari itu atas hari-hari lainnya, kecuali puasa pada hari kesepuluh Muharram.” (HR Muslim).
Dalam hadits lain Nabi juga menjelaskan bahwa puasa pada hari ‘Asyura(10 Muharram) bisa menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah lewat.
Dari Abu Qatadah RA, Rasululllah صلى الله عليه و سلم ditanya tentang puasa hari ‘asyura, beliau bersabda: ”Saya berharap ia bisa menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang telah lewat.” (HR. Muslim).
Disamping itu disunnahkan untuk berpuasa sehari sebelum ‘Asyuraya itu puasa Tasu’a pada tanggal 9 Muharram, sebagaimana sabda Nabi صلى الله عليه و سلم yang termasuk dalam golongan sunnah hammiyah (sunnah yang berupa keinginan/cita2 Nabi tetapi beliau sendiri belum sempat melakukannya) :
Ibnu Abbas RA menyebutkan, Rasulullah صلى الله عليه و سلم melakukan puasa ‘asyuura dan beliau memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Para sahabat berkata, “Ini adalah hari yang dimuliakan orang Yahudi dan Nasrani.
Maka Rasulullah صلى الله عليه و سلم . bersabda, “Tahun depan insya Allah kita juga akan berpuasa pada tanggal sembilan Muharram.” Namun, pada tahun berikutnya Rasulullah telah wafat. (HR Muslim, Abu Daud).
Berdasar pada hadis ini, disunahkan bagi umat Islam untuk juga berpuasa pada tanggal sembilan Muharram. Sebagian ulama mengatakan, sebaiknya puasa selama tiga hari : 9, 10, 11 Muharram.
Ibnu Abbas r.a. berkata, Rasulullah صلى الله عليه و سلم . bersabda, “Puasalah pada hari ‘asyuura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Puasalah sehari sebelum dan sehari sesudahnya.” (HR Ahmad).
Ibnu Sirrin berkata: melaksanakan hal ini dengan alasan kehati-hatian. Karena, boleh jadi manusia salah dalam menetapkan masuknya satu Muharram. Boleh jadi yang kita kira tanggal sembilan, namun sebenarnya sudah tanggal sepuluh. (Majmu’ Syarhul Muhadzdzab VI/406).
Panduan Amalan Di Bulan Muharram
Dari bulan Muharram inilah kaum Muslimin pertama terjadi perubahan secara fundamental. Mereka menyambut kehadirannya dengan antusiasme yang tinggi ditandai dengan memuliakannya dengan mengisinya dengan berbagai amal shalih.
Berikut adalah beberapa amalan sunnah di bulan Muharram.
Memperbanyak puasa selama bulan Muharram
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ الله الْمُحَرَّمِ
“Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim),
Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan :
اَلْيَوْمَ يَوْمُ عَاشُوْرَاء وَهَذَا الشَّهْرُ – يَعْنِى شَهْرُ رَمَضَانَ – مَارَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ اللهُ عَلَى غَيْرِهِ اِلاَّ هَذَا.
“Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih satu hari untuk puasa yang lebih beliau unggulkan dari pada yang lainnya kecuali puasa hari Asyura’, dan puasa bulan Ramadhan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Puasa Asyura’ (puasa tanggal 10 Muharram)
Dari Abu Musa Al Asy’ari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
كَانَ يَوْمُ شُعَرَاءَ تُعِدُّهُ الْيَهُودُ عِيْدًا قَالَ النَبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ فَصُوْمُوْهُ أَنتُمْ.
Dulu hari Asyura’ dijadikan orang Yahudi sebagai hari raya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasalah kalian.” (HR. Al Bukhari)
Dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan :
سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ فَقَالَ: كَفَّارَةُ سَنَةً
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Asyura’, kemudian beliau menjawab: “Puasa Asyura menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim dan Ahmad).
Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ وَالْيَهُوْدُ تَصُوْمُ عَاشُوْرَاءَ فَقَالُوْا هَذَا يَوْمٌ ضَهَرَ فِيْهُ مُوْسَى عَلَى فِرعَوْنَ فَقَالَ النَّبِيِّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَانِهِ: أَنْتُمْ أَحَقُّ مُوْسَى مِنْهُمْ فَصُوْمُوْا.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang Yahudi berpuasa Asyura’. Mereka mengatakan: Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat: “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang Yahudi), karena itu berpuasalah.” (HR. Al Bukhari).
Puasa Asyura’ merupakan kewajiban puasa pertama dalam Islam, sebelum Ramadlan. Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliallahu ‘anha, beliau mengatakan:
أَرْسَلَ النَّبِيُّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاة عَاشُوْرَاءَ اِلَى قُرَى الْأَ لْضَارِ مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ وَمنْ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيَصُمْ قَالَتْ فَكُنَّا نَصُوْمُهُ بَعْدَ وَنَصُوْمُ صِبْيَاتُنَا وَنَجْعَلُ لَهُم اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ فَأِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامَ أَعْطَيْنَاهُ ذَلِكَ حَتَّى يَكُوْنَ عِنْدَ الْاِفْطَانِ
Suatu ketika, di pagi hari Asyura’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan: “Siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai maghrib. Dan siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.” Rubayyi’ mengatakan: Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, puasa Asyura’ menjadi puasa sunnah. A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan:
كَانَ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ تَصُوْمُهُ قُرَيْشٌ فِى الْجَهِلِيَّةِ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ صَامَهُ
Setiap memasuki tahun baru Islam, kita hendaknya memiliki semangat baru untuk merancang dan melaksanakan hidup ini secara lebih baik. Besok harus lebih baik dari hari ini. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Kita ini hanya terikat oleh tiga masa. Masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Tahun hijriyah mulai diberlakukan pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Sistem penanggalan Islam itu tidak mengambil nama ‘Tahun Muhammad’ atau ‘Tahun Umar’. Artinya, tidak mengandung unsur pemujaan seseorang atau penonjolan personifikasi, tidak seperti sistem penanggalan Tahun Masehi yang diambil dari gelar Nabi Isa, Al-Masih (Arab) atau Messiah (Ibrani).
Penetapan nama Tahun Hijriyah (al-Sanah al-Hijriyah) merupakan kebijaksanaan Khalifah Umar. Seandainya ia berambisi untuk mengabadikan namanya dengan menamakan penanggalan itu dengan Tahun Umar sangatlah mudah baginya melakukan itu. Umar tidak mementingkan keharuman namanya atau membanggakan dirinya sebagai pencetus ide sistem penanggalaan Islam itu. Ia malah menjadikan penanggalan itu sebagai zaman baru pengembangan Islam, karena penanggalan itu mengandung makna spiritual dan nilai historis yang amat tinggi nilainya bagi agama dan umat Islam.
Selain Umar, orang yang berjasa dalam penanggalan Tahun Hijriyah adalah Ali bin Abi Thalib. Beliaulah yang mencetuskan pemikiran agar penanggalan Islam dimulai penghitungannya dari peristiwa hijrah, saat umat Islam meninggalkan Makkah menuju Yatsrib (Madinah).
Dalam sejarah hijrah nabi dari Makkah ke madinah terlihat jalinan ukhuwah kaum Ansor dan Muhajirin yang melahirkan integrasi umat Islam yang angat kokoh. Kaum Muhajirin-Anshar membuktikan, ukhuwah Islamiyah bisa membawa umat Islam jaya, kuat dan disegani.
Dari situlah mengapa konsep dan hikmah hijrah perlu dikaji ulang dan diamalkan oleh umat Islam. Setiap pergantian waktu, hari demi hari hingga tahun demi tahun, biasanya memunculkan harapan baru akan keadaan yang lebih baik.
Islam mengajarkan, hari-hari yang kita lalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Dengan kata lain, setiap Muslim dituntut untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari. Hadis Rasulullah yang sangat populer menyatakan, ‘‘Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang beruntung”. Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi, dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin, adalah orang celaka.”
Karakteristik Kedua: Di sunnahkan berpuasa
Pada zaman Rasulullah, orang Yahudi juga mengerjakan puasa pada hari ‘asyuura. Mereka mewarisi hal itu dari Nabi Musa AS.
Dari Ibnu Abbas RA, ketika Rasulullah صلى الله عليه و سلم tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa. Rasulullah صلى الله عليه و سلم bertanya, “Hari apa ini? Mengapa kalian berpuasa?” Mereka menjawab, “Ini hari yang agung, hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir’aun. Maka Musa berpuasa sebagai tanda syukur, maka kami pun berpuasa. “Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda, “Kami orang Islam lebih berhak dan lebih utama untuk menghormati Nabi Musa daripada kalian.” (HR. Abu Daud).
Puasa Muharram merupakan puasa yang paling utama setelah puasa bulan Ramadhan.
Rasululllah صلى الله عليه و سلم bersabda: Dari Abu Hurairah RA, Rasululllah صلى الله عليه و سلم bersabda: “Sebaik-baik puasa setelah puasa ramadhan adalah puasa dibulan muharram, dan sebaik-baik shalat setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR. Muslim, Abu Daud, Tarmizi, dan Nasa’i ).
Puasa pada bulan Muharram yang sangat dianjurkan adalah pada hari yang kesepuluh, yaitu yang lebih dikenal dengan istilah ‘asyuura.
Aisyah RA pernah ditanya tentang puasa ‘asyuura, ia menjawab, “Aku tidak pernah melihat Rasulullah صلى الله عليه و سلم puasa pada suatu hari yang beliau betul-betul mengharapkan fadilah pada hari itu atas hari-hari lainnya, kecuali puasa pada hari kesepuluh Muharram.” (HR Muslim).
Dalam hadits lain Nabi juga menjelaskan bahwa puasa pada hari ‘Asyura(10 Muharram) bisa menghapuskan dosa-dosa setahun yang telah lewat.
Dari Abu Qatadah RA, Rasululllah صلى الله عليه و سلم ditanya tentang puasa hari ‘asyura, beliau bersabda: ”Saya berharap ia bisa menghapuskan dosa-dosa satu tahun yang telah lewat.” (HR. Muslim).
Disamping itu disunnahkan untuk berpuasa sehari sebelum ‘Asyuraya itu puasa Tasu’a pada tanggal 9 Muharram, sebagaimana sabda Nabi صلى الله عليه و سلم yang termasuk dalam golongan sunnah hammiyah (sunnah yang berupa keinginan/cita2 Nabi tetapi beliau sendiri belum sempat melakukannya) :
Ibnu Abbas RA menyebutkan, Rasulullah صلى الله عليه و سلم melakukan puasa ‘asyuura dan beliau memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Para sahabat berkata, “Ini adalah hari yang dimuliakan orang Yahudi dan Nasrani.
Maka Rasulullah صلى الله عليه و سلم . bersabda, “Tahun depan insya Allah kita juga akan berpuasa pada tanggal sembilan Muharram.” Namun, pada tahun berikutnya Rasulullah telah wafat. (HR Muslim, Abu Daud).
Berdasar pada hadis ini, disunahkan bagi umat Islam untuk juga berpuasa pada tanggal sembilan Muharram. Sebagian ulama mengatakan, sebaiknya puasa selama tiga hari : 9, 10, 11 Muharram.
Ibnu Abbas r.a. berkata, Rasulullah صلى الله عليه و سلم . bersabda, “Puasalah pada hari ‘asyuura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Puasalah sehari sebelum dan sehari sesudahnya.” (HR Ahmad).
Ibnu Sirrin berkata: melaksanakan hal ini dengan alasan kehati-hatian. Karena, boleh jadi manusia salah dalam menetapkan masuknya satu Muharram. Boleh jadi yang kita kira tanggal sembilan, namun sebenarnya sudah tanggal sepuluh. (Majmu’ Syarhul Muhadzdzab VI/406).
Panduan Amalan Di Bulan Muharram
Dari bulan Muharram inilah kaum Muslimin pertama terjadi perubahan secara fundamental. Mereka menyambut kehadirannya dengan antusiasme yang tinggi ditandai dengan memuliakannya dengan mengisinya dengan berbagai amal shalih.
Berikut adalah beberapa amalan sunnah di bulan Muharram.
Memperbanyak puasa selama bulan Muharram
Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ الله الْمُحَرَّمِ
“Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim),
Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan :
اَلْيَوْمَ يَوْمُ عَاشُوْرَاء وَهَذَا الشَّهْرُ – يَعْنِى شَهْرُ رَمَضَانَ – مَارَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ اللهُ عَلَى غَيْرِهِ اِلاَّ هَذَا.
“Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih satu hari untuk puasa yang lebih beliau unggulkan dari pada yang lainnya kecuali puasa hari Asyura’, dan puasa bulan Ramadhan.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Puasa Asyura’ (puasa tanggal 10 Muharram)
Dari Abu Musa Al Asy’ari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
كَانَ يَوْمُ شُعَرَاءَ تُعِدُّهُ الْيَهُودُ عِيْدًا قَالَ النَبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ فَصُوْمُوْهُ أَنتُمْ.
Dulu hari Asyura’ dijadikan orang Yahudi sebagai hari raya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasalah kalian.” (HR. Al Bukhari)
Dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan :
سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ فَقَالَ: كَفَّارَةُ سَنَةً
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Asyura’, kemudian beliau menjawab: “Puasa Asyura menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim dan Ahmad).
Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan:
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ وَالْيَهُوْدُ تَصُوْمُ عَاشُوْرَاءَ فَقَالُوْا هَذَا يَوْمٌ ضَهَرَ فِيْهُ مُوْسَى عَلَى فِرعَوْنَ فَقَالَ النَّبِيِّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَانِهِ: أَنْتُمْ أَحَقُّ مُوْسَى مِنْهُمْ فَصُوْمُوْا.
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang Yahudi berpuasa Asyura’. Mereka mengatakan: Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat: “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang Yahudi), karena itu berpuasalah.” (HR. Al Bukhari).
Puasa Asyura’ merupakan kewajiban puasa pertama dalam Islam, sebelum Ramadlan. Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliallahu ‘anha, beliau mengatakan:
أَرْسَلَ النَّبِيُّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاة عَاشُوْرَاءَ اِلَى قُرَى الْأَ لْضَارِ مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ وَمنْ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيَصُمْ قَالَتْ فَكُنَّا نَصُوْمُهُ بَعْدَ وَنَصُوْمُ صِبْيَاتُنَا وَنَجْعَلُ لَهُم اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ فَأِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامَ أَعْطَيْنَاهُ ذَلِكَ حَتَّى يَكُوْنَ عِنْدَ الْاِفْطَانِ
Suatu ketika, di pagi hari Asyura’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan: “Siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai maghrib. Dan siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.” Rubayyi’ mengatakan: Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, puasa Asyura’ menjadi puasa sunnah. A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan:
كَانَ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ تَصُوْمُهُ قُرَيْشٌ فِى الْجَهِلِيَّةِ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ صَامَهُ
وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّ فَرَضَ رَمَضَانَ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ.
“Dulu hari Asyura’ dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliyah. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melaksanakn puasa Asyura’ dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, beliau tinggalkan hari Asyura’. Siapa yang ingin puasa Asyura’ boleh puasa, siapa yang tidak ingin puasa Asyura’ boleh tidak puasa.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Puasa Tasu’a (puasa tanggal 9 Muharram)
Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau menceritakan:
حِيْنَ صَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوْا
“Dulu hari Asyura’ dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliyah. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melaksanakn puasa Asyura’ dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, beliau tinggalkan hari Asyura’. Siapa yang ingin puasa Asyura’ boleh puasa, siapa yang tidak ingin puasa Asyura’ boleh tidak puasa.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Puasa Tasu’a (puasa tanggal 9 Muharram)
Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau menceritakan:
حِيْنَ صَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوْا
: يَارَسُوْلَ الله أَنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُوْدُ وَنَّصَارَى فَقَالَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ اِنْ شَاءَ اللهُ صُمنَا الْيَوْمو التَّاسِعَ قَالَ:
فَلَمْ يَأَتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. Kemudian ada sahabat yang berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan orang Yahudi dan nasrani. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah diwafatkan.” (HR. Al Bukhari)
Tingkatan Puasa Asyura
Ibnul Qayim menjelaskan bahwa puasa terkait hari Asyura ada tiga tingkatan:
1. Tingkatan paling sempurna, puasa tiga hari. Sehari sebelum Asyura, hari Asyura, dan sehari setelahnya.
2. Tingkatan kedua, puasa tanggal 9 dan tanggal 10 Muharram. Ini berdasarkan banyak hadits.
3. Tingkatan ketiga, puasa tanggal 10 saja. (Zadul Ma’ad, 2/72).*
(Shalih Hasyim/hidayatullah.com)
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. Kemudian ada sahabat yang berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan orang Yahudi dan nasrani. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsudah diwafatkan.” (HR. Al Bukhari)
Tingkatan Puasa Asyura
Ibnul Qayim menjelaskan bahwa puasa terkait hari Asyura ada tiga tingkatan:
1. Tingkatan paling sempurna, puasa tiga hari. Sehari sebelum Asyura, hari Asyura, dan sehari setelahnya.
2. Tingkatan kedua, puasa tanggal 9 dan tanggal 10 Muharram. Ini berdasarkan banyak hadits.
3. Tingkatan ketiga, puasa tanggal 10 saja. (Zadul Ma’ad, 2/72).*
(Shalih Hasyim/hidayatullah.com)