Pendidikan sebagai investasi
Pendidikan sebagai investasi sumberdaya manusia (SDM) senantiasa aktual untuk dibicarakan. Bukan karena mutu SDM Indonesia yang dinilai rendah dari kacamata orang asing. Namun, bidang ini kerap dituduh tak berdaya menghasilkan tenaga kerja siap pakai dan bermental mandiri, hingga jumlah penganggur saat ini mencapai lebih 40 juta orang. Konon, 14 juta diantaranya adalah lulusan pendidikan tinggi. Setiap tahun terjadi pengangguran terbuka sebanyak 1,3 juta.
Akhirnya, semoga sistem pendidikan saat ini mampu menjawab seluruh permasalahan yang muncul di berbagai aspek pendidikan kita. Tak sekadar mencetak orang pandai dan cerdas, namun juga orang yang punya citra-hati, citra diri dan citra bangsa dengan mengedepankan aspek moral sebagai bagian dari identitas nilai-nilai budaya bangsa. Semoga !====n4N4s
Pendidikan di Indonesia, sepertinya tak habis-habisnya menyimpan sejumlah problem. Bagai putaran air dengan lingkup masalah yang ke itu-itu saja. Satu masalah disentuh, masalah lain mendongak ke permukaan. Mulai dari gonta-ganti kurikulum sejalan dengan gonta-gantinya menteri pendidikan. Atau seputar nasib kaum guru yang tak kunjung makmur dan terangkat nasibnya. Belum lagi soal jomplangnya sarana dan prasarana pendidikan yang ada di perkotaan dan di pedesaan. Sampai kepada jumlah penduduk yang buta huruf yang kini masih tersisa belasan juta orang.
Telah ada semacam konsensus di tengah masyarakat, bahwa pendidikan berupaya untuk meningkatkan kemampuan dan kematangan intelektual serta diarahkan guna memperkuat kepribadian diri dan identitas budaya bangsa. Namun rupanya itu saja tidak cukup. Pendidikan juga dituntut menghasilkan lulusannya, tak hanya harus memiliki keahlian dan keterampilan. Namun juga tuntutan bersikap mental mandiri serta pandai dalam membaca seluk-beluk pasar.
Angin segar
Sejak Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang diundangkan pada Mei 2003 silam, diharapkan membawa angin segar dalam dunia pendidikan kita. Apalagi pemerintah telah memiliki “political will” dengan meningkatkan alokasi anggaran hingga 20% dari APBN.
Selama ini kita memang tidak menilai pendidikan sebagai paradigma pembangunan bangsa. Hal ini terbukti anggaran yang disediakan untuk pendidikan sebelumnya tidak pernah lebih dari 7% dari APBN.
Namun demikian, pemerintah akhirnya menyadari bahwa sektor pendidikan sangat penting dalam rangka membangun peradaban masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu pemerintah akan terus meningkatkan anggaran pendidikan. Sedangkan yang menyangkut biaya pendidikan sebesar 20% dari APBN sebagaimana yang diamanatkan dalam amandemen UUD’45, sepertinya saat ini mulai clear.
Membangun peradaban
Hingga saat ini kita percaya benar hanya melalui pendidikan lah kemajuan dan peradaban bangsa dapat ditegakan dan dilestarikan. Hanya melalui pendidikan lah yang bisa sebagai pemuas dahaga manusia guna mereguk ilmu pengetahuan dan teknologi modern serta tuntutan hidup manusia yang semakin meningkat.
Namun begitu, kita tak bisa mengabaikan pemikiran Ki Hajar Dewantara yang hingga kini masih tetap terjaga relevansinya. Bahwa pendidikan Indonesia, tidak bisa tidak, harus memperhitungkan latar belakang sosial budaya masyarakat itu sendiri. Harus lah lengket dengan akar budayanya, yang menebarkan nilai-nilai agung ketimuran.
Adopsi ilmu dan teknologi modern boleh saja. Namun hal itu akan terlaksana dengan baik apabila dilandasi oleh suatu keyakinan terhadap identitas pribadi sebagai suatu bangsa.
Mengapa Ki Hajar Dewantara, wanti-wanti menyampaikan pernyataan seperti itu. Karena adanya kekhawatiran terhadap sikap dan prilaku manusia Indonesia yang masih labiel. Kekhawatiran itu terbukti hingga saat ini. Mungkin sebagai dampak sisa-sisa dari belenggu penjajahan atau penekanan pemerintah otoriter selama 32 tahun.
Oleh karena itu melalui pendidikan, tak hanya diarahkan untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang profesional, terampil dan handal. Namun juga yang memiliki moral dan mental terpuji. Manusia indonesia, yang berani mengambil resiko, gentleman, adil, bijak, jujur, sederhana, agamis, toleran, tegas dan berjiwa pembebas (dari belenggu kebodohan dan kemiskinan).
Apalagi di masa mendatang dimana pelbagai masalah pada seluruh sektor kehidupan kian mendongak ke permukaan. Termasuk di dalamnya tantangan-tantangan pembangunan yang akan semakin berat dengan dimensi permasalahan yang kian kompleks. Ini membutuhkan jawaban-jawaban yang lebih tuntas dan gamblang. Membutuhkan manusia Indonesia berjiwa pengayom yang jauh dari mengecewakan rakyatnya atau pengikutnya.
Telah ada semacam konsensus di tengah masyarakat, bahwa pendidikan berupaya untuk meningkatkan kemampuan dan kematangan intelektual serta diarahkan guna memperkuat kepribadian diri dan identitas budaya bangsa. Namun rupanya itu saja tidak cukup. Pendidikan juga dituntut menghasilkan lulusannya, tak hanya harus memiliki keahlian dan keterampilan. Namun juga tuntutan bersikap mental mandiri serta pandai dalam membaca seluk-beluk pasar.
Angin segar
Sejak Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang diundangkan pada Mei 2003 silam, diharapkan membawa angin segar dalam dunia pendidikan kita. Apalagi pemerintah telah memiliki “political will” dengan meningkatkan alokasi anggaran hingga 20% dari APBN.
Selama ini kita memang tidak menilai pendidikan sebagai paradigma pembangunan bangsa. Hal ini terbukti anggaran yang disediakan untuk pendidikan sebelumnya tidak pernah lebih dari 7% dari APBN.
Namun demikian, pemerintah akhirnya menyadari bahwa sektor pendidikan sangat penting dalam rangka membangun peradaban masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu pemerintah akan terus meningkatkan anggaran pendidikan. Sedangkan yang menyangkut biaya pendidikan sebesar 20% dari APBN sebagaimana yang diamanatkan dalam amandemen UUD’45, sepertinya saat ini mulai clear.
Membangun peradaban
Hingga saat ini kita percaya benar hanya melalui pendidikan lah kemajuan dan peradaban bangsa dapat ditegakan dan dilestarikan. Hanya melalui pendidikan lah yang bisa sebagai pemuas dahaga manusia guna mereguk ilmu pengetahuan dan teknologi modern serta tuntutan hidup manusia yang semakin meningkat.
Namun begitu, kita tak bisa mengabaikan pemikiran Ki Hajar Dewantara yang hingga kini masih tetap terjaga relevansinya. Bahwa pendidikan Indonesia, tidak bisa tidak, harus memperhitungkan latar belakang sosial budaya masyarakat itu sendiri. Harus lah lengket dengan akar budayanya, yang menebarkan nilai-nilai agung ketimuran.
Adopsi ilmu dan teknologi modern boleh saja. Namun hal itu akan terlaksana dengan baik apabila dilandasi oleh suatu keyakinan terhadap identitas pribadi sebagai suatu bangsa.
Mengapa Ki Hajar Dewantara, wanti-wanti menyampaikan pernyataan seperti itu. Karena adanya kekhawatiran terhadap sikap dan prilaku manusia Indonesia yang masih labiel. Kekhawatiran itu terbukti hingga saat ini. Mungkin sebagai dampak sisa-sisa dari belenggu penjajahan atau penekanan pemerintah otoriter selama 32 tahun.
Oleh karena itu melalui pendidikan, tak hanya diarahkan untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang profesional, terampil dan handal. Namun juga yang memiliki moral dan mental terpuji. Manusia indonesia, yang berani mengambil resiko, gentleman, adil, bijak, jujur, sederhana, agamis, toleran, tegas dan berjiwa pembebas (dari belenggu kebodohan dan kemiskinan).
Apalagi di masa mendatang dimana pelbagai masalah pada seluruh sektor kehidupan kian mendongak ke permukaan. Termasuk di dalamnya tantangan-tantangan pembangunan yang akan semakin berat dengan dimensi permasalahan yang kian kompleks. Ini membutuhkan jawaban-jawaban yang lebih tuntas dan gamblang. Membutuhkan manusia Indonesia berjiwa pengayom yang jauh dari mengecewakan rakyatnya atau pengikutnya.
Bukan lepas akar
Bidang pendidikan sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu landasan kokoh yang harus senantiasa dicanangkan. Sebagai bagian dari pembangunan nasional, pendidikan ditujukan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kekaryaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Sejalan dengan tujuannya kiranya jelas, bahwa melalui pendidikan diharapkan tumbuhnya generasi muda berwawasan luas dan berkepribadian kuat serta memiliki tanggung jawab yang tinggi. Menciptakan generasi yang bukan penuntut dan pencari kerja tetapi justru mampu menciptakan lapangan kerja.
Seorang ahli filsafat pendidikan, John Lock (1632-1704), dengan teorinya “tabularasa” menyebutkan bahwa perkembangan manusia amat ditentukan oleh faktor lingkungan, terutama pendidikan. Anak lahir bagai kertas putih yang belum ada tulisannya. Bahwa pendidikan merupakan faktor vital dalam lingkungan berkuasa penuh dalam membentuk pribadi manusia.
Hal itu sejalan dengan teori J.J. Rousseau yang menyatakan, bahwa pembentukan pribadi manusia tergantung pada manusianya itu sendiri dalam mendayagunakan lingkungan.
Demikian pentingnya pendidikan, baik dalam upaya memantapkan kepribadian manusia maupun dalam rangka melestarikan dan mengembangkan serta meneruskan nilai-nilai budaya bangsa. Walau pun kepribadian dan identitas budaya bangsa itu tidak hanya terkait dengan warisan budaya bangsa atau nilai-nilai tradisional, namun dipengaruhi pula oleh dinamika budaya yang relevan dengan jamannya.
Kiprah lembaga pendidikan
Bertolak dari kebutuhan akan tenaga-tenaga terampil dan profesional di setiap sektor pembangunan, maka kini dibutuhkan gagasan-gagasan dan pemikiran baru dalam upaya meningkatkan kecerdasan bangsa sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Pada gilirannya menuntut pendidikan yang mandiri dalam lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal. Melalui pendidikan mandiri diharapkan mampu menunjang tumbuhnya generasi muda yang tak hanya berwawasan luas, namun juga berkepribadian kuat, terampil dan bertangggung jawab.
Tangggung jawab pendidikan pada gilirannya dituntut kepekaannya dalam mengikuti perkembangan teknologi modern yang semakin pesat. Sehingga akan menghasilkan lulusan yang lebih kreatif dan inovatif, sekaligus mampu membuat filter dampak negatif teknologi terhadap nilai-nilai budaya bangsa. Perkembangan teknologi telematika (telekomunikasi, multimedia dan informatika), tak hanya menyangkut kebutuhan terhadap sumberdaya manusia yang berkemampuan, namun juga bisa menjadi ancaman atau bumerang bagi generasi bangsa.
Dengan demikian, di satu pihak lembaga pendidikan dituntut menghasilkan tenaga-tenaga manusia berkualitas tinggi sejalan dengan perkembangan teknologi. Namun di pihak lain dituntut untuk tetap melandaskan atau bertopang pada identitas budaya dan nilai-nilai bangsa. Artinya bahwa keterampilan intelektual yang dikembangkan harus lah dimbangi dengan perkembangan mental spiritual dan kepribadian yang berpihak pada kepentingan nasional.
Kita menyadari dan meyakini, bahwa dengan pendidikan kita berharap dapat membentuk manusia modern yang bercirikan identitas budaya nasional sendiri. Dan bukan pendidikan yang lepas akar dari identitas budaya dan bangsanya. Namun bukan pula pendidikan yang mencetak orang menjadi ahli merasionalisasi segala sesuatu, sehingga lebih menjurus pada upaya menghalalkan segala cara.
Jangan sampai kepandaian dan kecerdasan seseorang itu diukur oleh keahliannya berbuat distorsi. Misalnya, orang yang pandai dan cerdas itu adalah orang yang melakukan korupsi tapi tidak ketahuan, orang yang dapat membebaskan diri dari jerat hukum, orang yang pandai menangkap ikan di air keruh, orang yang beroleh kekuasaan dan kekayaan dengan cara-cara tak benar, atau orang yang pandai menginjak ke bawah dan menjilat ke atas.
Bidang pendidikan sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu landasan kokoh yang harus senantiasa dicanangkan. Sebagai bagian dari pembangunan nasional, pendidikan ditujukan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kekaryaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
Sejalan dengan tujuannya kiranya jelas, bahwa melalui pendidikan diharapkan tumbuhnya generasi muda berwawasan luas dan berkepribadian kuat serta memiliki tanggung jawab yang tinggi. Menciptakan generasi yang bukan penuntut dan pencari kerja tetapi justru mampu menciptakan lapangan kerja.
Seorang ahli filsafat pendidikan, John Lock (1632-1704), dengan teorinya “tabularasa” menyebutkan bahwa perkembangan manusia amat ditentukan oleh faktor lingkungan, terutama pendidikan. Anak lahir bagai kertas putih yang belum ada tulisannya. Bahwa pendidikan merupakan faktor vital dalam lingkungan berkuasa penuh dalam membentuk pribadi manusia.
Hal itu sejalan dengan teori J.J. Rousseau yang menyatakan, bahwa pembentukan pribadi manusia tergantung pada manusianya itu sendiri dalam mendayagunakan lingkungan.
Demikian pentingnya pendidikan, baik dalam upaya memantapkan kepribadian manusia maupun dalam rangka melestarikan dan mengembangkan serta meneruskan nilai-nilai budaya bangsa. Walau pun kepribadian dan identitas budaya bangsa itu tidak hanya terkait dengan warisan budaya bangsa atau nilai-nilai tradisional, namun dipengaruhi pula oleh dinamika budaya yang relevan dengan jamannya.
Kiprah lembaga pendidikan
Bertolak dari kebutuhan akan tenaga-tenaga terampil dan profesional di setiap sektor pembangunan, maka kini dibutuhkan gagasan-gagasan dan pemikiran baru dalam upaya meningkatkan kecerdasan bangsa sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Pada gilirannya menuntut pendidikan yang mandiri dalam lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal. Melalui pendidikan mandiri diharapkan mampu menunjang tumbuhnya generasi muda yang tak hanya berwawasan luas, namun juga berkepribadian kuat, terampil dan bertangggung jawab.
Tangggung jawab pendidikan pada gilirannya dituntut kepekaannya dalam mengikuti perkembangan teknologi modern yang semakin pesat. Sehingga akan menghasilkan lulusan yang lebih kreatif dan inovatif, sekaligus mampu membuat filter dampak negatif teknologi terhadap nilai-nilai budaya bangsa. Perkembangan teknologi telematika (telekomunikasi, multimedia dan informatika), tak hanya menyangkut kebutuhan terhadap sumberdaya manusia yang berkemampuan, namun juga bisa menjadi ancaman atau bumerang bagi generasi bangsa.
Dengan demikian, di satu pihak lembaga pendidikan dituntut menghasilkan tenaga-tenaga manusia berkualitas tinggi sejalan dengan perkembangan teknologi. Namun di pihak lain dituntut untuk tetap melandaskan atau bertopang pada identitas budaya dan nilai-nilai bangsa. Artinya bahwa keterampilan intelektual yang dikembangkan harus lah dimbangi dengan perkembangan mental spiritual dan kepribadian yang berpihak pada kepentingan nasional.
Kita menyadari dan meyakini, bahwa dengan pendidikan kita berharap dapat membentuk manusia modern yang bercirikan identitas budaya nasional sendiri. Dan bukan pendidikan yang lepas akar dari identitas budaya dan bangsanya. Namun bukan pula pendidikan yang mencetak orang menjadi ahli merasionalisasi segala sesuatu, sehingga lebih menjurus pada upaya menghalalkan segala cara.
Jangan sampai kepandaian dan kecerdasan seseorang itu diukur oleh keahliannya berbuat distorsi. Misalnya, orang yang pandai dan cerdas itu adalah orang yang melakukan korupsi tapi tidak ketahuan, orang yang dapat membebaskan diri dari jerat hukum, orang yang pandai menangkap ikan di air keruh, orang yang beroleh kekuasaan dan kekayaan dengan cara-cara tak benar, atau orang yang pandai menginjak ke bawah dan menjilat ke atas.
Akhirnya, semoga sistem pendidikan saat ini mampu menjawab seluruh permasalahan yang muncul di berbagai aspek pendidikan kita. Tak sekadar mencetak orang pandai dan cerdas, namun juga orang yang punya citra-hati, citra diri dan citra bangsa dengan mengedepankan aspek moral sebagai bagian dari identitas nilai-nilai budaya bangsa. Semoga !====n4N4s