(Analisis Philosopy
Tasawuf/Sufistme)
Perjalan sejarah tercatat bahwa 14 abad lamanya, telah tumbuh dalam kalangan Islam suatu pandangan hidup yang amat berpengaruh yaitu gerakan tasawuf atau sufisme. Pola hidup kesufian ini muncul ketika kultur budaya Islam mulai melenceng dari pola hidup Islami, dimana pola hidup kaum muslimin mengarah kepada sikap mementingkan materi dan akal semata-mata. Setelah mereka berhasil meraih kepentingan duniawi, mulailah mereka meninggalkan kepentingan akhirat, sebaliknya, maka kaum sufisme saman itu hidup dalam keadaan cenderung mementingkan kepentingan akhirat. Dengan demikian, maka kaum sufisme datang kemudiaan menyeimbangkan antara kehidupan duniawi dan kepentingan akhirat.
Perjalan sejarah tercatat bahwa 14 abad lamanya, telah tumbuh dalam kalangan Islam suatu pandangan hidup yang amat berpengaruh yaitu gerakan tasawuf atau sufisme. Pola hidup kesufian ini muncul ketika kultur budaya Islam mulai melenceng dari pola hidup Islami, dimana pola hidup kaum muslimin mengarah kepada sikap mementingkan materi dan akal semata-mata. Setelah mereka berhasil meraih kepentingan duniawi, mulailah mereka meninggalkan kepentingan akhirat, sebaliknya, maka kaum sufisme saman itu hidup dalam keadaan cenderung mementingkan kepentingan akhirat. Dengan demikian, maka kaum sufisme datang kemudiaan menyeimbangkan antara kehidupan duniawi dan kepentingan akhirat.
Pandangan sufi dahulu
dengan sekarang tentu telah mengalami perubahan yang sangat tajam.
Dimana pandangan kaum sufi terdahulu terlalu menitipkan aspek
batiniah dan mengabaikan kepentingan jasmaniah, membenci kemewahan
dan mencintai pola hidup yang pakir. Sedangkan pola hidup sufisme
sekarang ini sama sekali tidak membelakangi aspek keduniawian,
melainkan menyeimbangkan antara keduanya. Terbukti kehidupan
Sufi/Wali sekarang ini mempunyai istri, keturunan, rumah, menjadi
ilmuan/intelektual, menjadi pengusaha dan membaur dengan masyarakat
luas.
Ada hal menarik yang perlu kita simak yaitu “urgensi
ke-Wali-an”. Apa makna Wali itu. Untuk mengenal makna Wali, ada dua
titik pandang: Pertama Wali ber-wazan fa’iil, bentuk mubalaghah
dari faa’il, seperti ‘aliim, qadiir, dan yang sejenisnya. Makna
terminologinya adalah: Orang yang senantiasa berkompeten dalam
ketaatannya, tanpa dicelahi oleh kemaksiatan. Para Wali selalu
memiliki ketergantungan hasrat atas keselamatan makhluk; menjaga
perasaan agar tidak menimbulkan dendam mereka; membatasi tangannya
untuk mendapatkan harta sesama; meninggalkan ketamakan dari berbagai
arah terhadap apa yang menjadi milikik mereka; mengekang ucapan
mengenai keburukan-keburukan mereka; menjaga diri dari penyaksian
terhadap kejelekan-kejelekan mereka; dan tidak pernah mencaci
terhadap siapa pun.
Kedua, bisa jadi bentuk fa’iil bermakna
maf’uul, seperti qatiil bermakna maqtuul, dan jariih bermakna
majruuh. Jadi Wali berarti orang yang dilindungi oleh Allah SWT.
dengan menjaga dan membentenginya untuk selalu langgeng dan terus
menerus dalam ketaatan. Maka, bagi Wali tidak dihiasi akhlak kehinaan
yang merupakan takdir kemaksiatan, tetapi Allah melanggengkan
Taufiq-Nya yang merupakan takdir ketaatan kepada-Nya. Allah
SWT. berfirman:
“Dan Dia melindungi orang-orang yang saleh”
Pertanyaan apakah Wali itu terjaga dari dosa (ma’sum) ?. Wali tidak harus bersyarat ma’sum, sebagaimana para Nabi. Namun bahwa Wali harus menjaga diri (mahfudz) agar tidak terus menerus melakukan dosa, apabila tergelincir atau salah, maka sifat menjaga diri itu memang tidak menghalangi untuk menjadi identitasnya.
“Dan Dia melindungi orang-orang yang saleh”
Pertanyaan apakah Wali itu terjaga dari dosa (ma’sum) ?. Wali tidak harus bersyarat ma’sum, sebagaimana para Nabi. Namun bahwa Wali harus menjaga diri (mahfudz) agar tidak terus menerus melakukan dosa, apabila tergelincir atau salah, maka sifat menjaga diri itu memang tidak menghalangi untuk menjadi identitasnya.
Al-Junayd ditanya, “Apakah orang yang ‘arif
pernah berzina?” Lalu Junayd tertunduk sejenak, kemudian mengangkat
kepalanya sembari membacakan ayat, “Dan adalah ketetapan Allah SWT
itu, suatu ketetapan yang pasti berlaku.” Bila ditanyakan,
“Apakah rasa takut itu gugur dalam diri para Wali?”. Dijawab,
“Pada umumnya, para Wali besar, rasa takut itu telah gugur. Dan apa
yang kami katakan, jika rasa takut itu ada, amat jarang sekali
terjadi, dan hal itu tidak menghalanginya.”
As-Sary-Saqathy
berkata, “Bila salah seorang memasuki kebun yang penuh dengan
pohon-pohon lebat, masing-masing pohon itu ada burungnya, lantas
burung itu mengucapkan salam dengan bahasa yang jelas, “Assalamu
‘alaikum wahai Allah, ‘jika sang Wali tadi tidak takut bahwa
salam burung itu sebagai tipudaya, maka sebenarnya ia benar-benar
tertipu.”
Sehubunagn dengan itu, fenomena sosial saat ini,
di kalangan para ilmuan pun telah tumbuh kesadaran dan semangat
spiritual dengan berbagai penamaan kajian; seperti munculnya missi
pencerahan qalbu, manejmen qalbu, dan renungan kerohanian dan
lain-lain. Sudah dapat kita menyaksikan berbagai tayangan di
layar TV dan berbagai media lainnya. Nampak bahwa para intelektual
muslim sudah mengalami perubahan pola pikir dan pandangan
keber-ilmuan, mereka cenderung memperhatikan dan menekuni
kajian-kajian tasawuf/sufisme. Dan bahkan di negara-negara maju
sekalipun sudah memiliki kesadaran yang mendalam tentang kerentangan
dan kegersangan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Akibat dari
kegersangan intelektual mereka, sudah banyak dikalangan mereka (non
Islam) yang tertarik mengkaji nilai-nilai spiritualisme dalam Islam
(tasawuf).
Di dunia yang ilmu pengetahuannya begitu maju sekalipun
banyak yang rentang, sementara semangat spiritual ke-Walian sejak
jaman dahulu hingga hari ini ridak pernah rentang oleh segala
zaman. Di antara bagian karamah-karamah Wali itu, antara lain dia
mengetahui jaminan rasa aman dari akibat-akibat yang terjadi. Dan
akibat-akibat tersebut tidak merubah kondisi ruhaninya. Akhirnya
peradan Islam akan menjadi era spiritual yang sipatnya mengarah
kepada pendalaman ilmu pengetahuan yang empirik dan sekaligus ilmu
yang kalbiah. Dan dengan sendirinya ilmu yang diperoleh adalah ilmu
pengetahuan yang tercerahkan. Maka terciptalah pola zikir dan pola
pikir yang sudah lama populer di kalangan masyarakat umum, walaupun
masih sebatas wacana.
Pengertian Tasawuf/Sufisme
Pengertian Tasawuf/Sufisme
Menurut bahasa (etimologi) kata tasawuf/sufime adalah
berasal dari kata sufi yang terambil dari kata sebagai berikut:
A. Sebagian para sufi diberi nama sufi karena kesucian (safa) hati mereka dan kebersihan tindakan mereka (athar). Jelaslah bahwa tubuh secara keseluruhan mengalami pembaharuan dan semua sikap ditingkatkan oleh kesucian dan ketulusan hati. Tersingkapnya rahasia ketuhanan sepenuhnya tergantung kepada kesucian batin.
B. Sufi disebut sufi hanya karena mereka berada dibaris pertama (shaff) di depan Allah SWT., melalui pengangkatan keinginan mereka kepada-Nya, dan tetapnya kerahasiaan mereka di hadapan-Nya.
C. Ashab al-Suffah yang hidup pada masa Nabi. Yang cenderung meninggalkan kehidupan dunia dan segala kepentingannya.
D. Sufi karena kebiasaan mereka mengenakan kain wol.
A. Sebagian para sufi diberi nama sufi karena kesucian (safa) hati mereka dan kebersihan tindakan mereka (athar). Jelaslah bahwa tubuh secara keseluruhan mengalami pembaharuan dan semua sikap ditingkatkan oleh kesucian dan ketulusan hati. Tersingkapnya rahasia ketuhanan sepenuhnya tergantung kepada kesucian batin.
B. Sufi disebut sufi hanya karena mereka berada dibaris pertama (shaff) di depan Allah SWT., melalui pengangkatan keinginan mereka kepada-Nya, dan tetapnya kerahasiaan mereka di hadapan-Nya.
C. Ashab al-Suffah yang hidup pada masa Nabi. Yang cenderung meninggalkan kehidupan dunia dan segala kepentingannya.
D. Sufi karena kebiasaan mereka mengenakan kain wol.
Secara (terminologi) adalah nama sufi berlaku pada pria atau wanita yang telah mensucikan hatinya dengan mengingat Allah SWT. (dzikrullah), menempuh jalan kembali pada Allah, dan sampai pada pengetahuan hakiki (ma’rifah). Ada banyak pencari hikmah dan kebenaran, akan tetapi hanya orang-orang yang sadar yang mencari Allah SWT. semata yang pantang disebut sufi. Sebaliknya, orang yang pantas disebut nama itu justru tidak pernah memandang dirinya berhak mendapatkan kehormatan itu. Karena dia telah sampai pada tingkatan tertinggi dalam pengetahuan tentang Allah SWT. maka dia tahu dengan yakin dan pasti bahwa “hamba tetaplah hamba dan Tuhan tetaplah Tuhan”.
Kata tasawuf dalam bagian ini
disamaartikan dengan sufisme, sedangkan pengertian Tasawuf; ialah
pengetahuan tentang diri. Ini berdasarkan ajaran Nabi Muhammad Saw.
Di Barat tasawuf dikenal dengan istilah sufisme atau mistisisme
Islam. Tasawuf adalah pencapaian karakter mulia melalui penyucian
hati. Tasawuf adalah adab. Seseorang yang tergerak untuk mencapai
pengetahuan tentang Allah Saw. adalah disebut mutashawwif. Orang yang
telah tersucikan, yang telah menempuh jalan spiritual dari diri
rendah ke diri tinggi disebut Sufi.
Syekh
Abdul Qadir Jailani mengartikan tasawuf dari empat huruf yaitu Ta’,
Shad, Waw dan Fa’. Huruf Ta’ berarti Taubat yakni langkah pertama
dalam perjalanan menuju Allah SWT. Taubat ini terbagi menjadi dua
bagian, yaitu zahir dan batin. Langkah zahir dalam bertaubat
dilakukan melalui perkataan, perbuatan dan perasaan, yaitu dengan
cara membersihkan diri dari dosa dan noda, lebih banyak
mentaati perintah Allah SWT, berniat dan berbuat sesuai dengan
ketentuan Allah SWT. Dan semua ini tidak akan berlaku tanpa terlebih
dahulu muncul sifat khauf (takut) dan raja’ (harapan) dalam diri
orang yang menjalani tasawuf.
Sedangkan
taubat ruhani atau taubat batin peranannya ada di dalam hati.
Peranannya adalah membersihkan dan mensucikan hati dari
keinginan-keinginan duniawi yang diimbangi dengan kesungguhan serta
penuh harap untuk mencapai dan mengenal Allah SWT.
Pokok Pikiran dalam Tasawuf/Sufisme
Pokok Pikiran dalam Tasawuf/Sufisme
Dalam Islam terdapat
tiga pilar utama dan saling terkait; yakni Islam, Iman dan Ihsan.
Pandangan penganut tarekat Naqsyabandiah sufisme tidak bisa
terpisahkan dari Islam, Iman dan Ihsan. Islam dipelajari pada kitab
fiqhi, Iman dipelajari pada kitab hadis, dan Ihsan dipelajari pada
kitab tasawuf, atau sufisme. Iman menjadi fondasi keberagamaan, Islam
menjadi aturan atau norma kehidupan menjadi pula lalu lintas, dan
Ihsan menjadi implikasi dari keduanya. Jadi Iman, Islam dan Ihsan,
kelihatannya seperti tidak saling berhubungan, namun sesungguhnya
ketiga hal itu hanyalah satu secara hakiki (hakekat). Dan Ihsan
menjadi buah dari dua aspek terpenting tersebut (Islam dan
Iman).
Ihsan digambarkan oleh Rasulullah Saw. sebagai suatu
keadaan dimana seorang hamba pada saat melaksanakan perintah Allah
SWT. seakan-akan melihat diri-Nya. Dan kalaupun tidak melihat Dia,
maka yakinlah bahwa Dia melihat dirimu. Berarti kehadiran Allah SWT.
dikala itu adalah menjadi suatu kewajiban bagi-Nya. Faktor
paling penting untuk bersikap dan berperilaku ialah menjaga ingatan
kepada Allah SWT. Dalam hal ini penghayatan terhadap segala fenomena
alam sebagai bentuk wujud perenungan atas hakekat ciptaan Allah SWT.
Itulah tingkat kesadaran manusia paling tinggi.
Pandangan di
atas menolak pendapat kelempok-kelompok pertapa dan kelompok faqr di
India ya ng terlalu mementingkan aspek batiniah lalu rela membunuh
kepentingan aspek lahiriah. Seperti mengorbankan diri untuk tidak
menikah, mengurung diri, berpuasa terus menerus dan semacamnya.
Tindakan itu dilakukan hanya ingin mencari kepuasan batin semata,
namun menempuh cara yang salah.
Hidup manusia sebagai hamba harus
menjalankan sunnah dan segala perintah Allah SWT. lainnya, berzikir
secara terus menerus untuk menjalin hubungan baik dengan Allah SWT.
harus terjalin dengan segala bentuk perbuatan manusia. Olehnya itu
memperkecil kemungkinan seseorang untuk berbuat salah. Dan sekalipun
terjerumus kedalam perbuatan yang salah (dosa), tetapi karena selalu
berzikir dan bertobat, maka kesalahan itu bisa saja tidak
berkepanjangan dalam waktu yang lama.
Sebagaimana pandangan
seorang guru Tarekat Naqsyabandiyah hasil wawancara bahwa manusia
memiliki potensi untuk menjadi khalifah di bumi oleh karena ia
memiliki kudrah (kekuatan), iradah (kehendak), sama’ (pendengaran),
bashirah (penglihatan), qalam (ucapan), ilm (pengetahuan), hayat
(hidup). Asal muasal semua ini adalah milik Allah SWT. yang
dititipkan kepada manusia (hamba-Nya). Berarti manusia memiliki asal
muasal yang sama sekali tidak boleh ia lupakan, dan apabila terjadi
kelupaan maka akan turun bencana pada dirinya. Untuk itu zikir adalah
saranah mengingat, dengan zikir yang tidak pernah putus maka
menjadikan manusia itu sebagai khalifah fil ard (pemimpin
dimuka bumi).
Adapun potensi kekhalifaan manusia adalah
dengan adanya unsur-unsur Tuhan (lahut Allah) pada diri manusia
berupa nur Ilahi, terjadi hubungan karena adanya potensi manusia
melalui unsur nasut manusia yang disebut nurun ala nurin yang termuat
pada unsur qalbiah dan dilengkapi dengan unsur jasadiah; dalam hal
ini potensi berpikir dan potensi berzikir yang dilengkapi pula
berbagai macam panca indra lainnya.
Unsur nasut manusia
yaitu ruhnya yang tiada lain adalah atas kehendak mutlak Allah SWT.
dalam firman-Nya “Jika kamu Muhammad ditanya tentang ruhmu, maka
katakanlah bahwa ruh itu adalah urusan Tuhanku, kamu tidak mengetahui
kecuali hanya sedikit sekali”. Pernyataan Allah ini memberikan
ultimatum bagi manusia agar jangan sombong dan lupa diri sebab
dirinya tidaklah berarti apa-apa bila bukan karena berkat Allah jua
semata.
Dilain sisi Allah SWT. dalam penekanan-Nya pada ayat yang
lain Dia mempertegas kepada manusia sebuah jaminan akan kedekatannya,
sebagaimana Firman-Nya:
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, jawablah bahwa sesungguhnya Aku adalah dekat.
Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo’a apabila ia berdo’a
kepada-Ku maka hendaklah mereka itu memeatuhi segala perintah-Ku dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam
kebenaran.
Dilain ayat Allah berfirman; “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri”
Implementasi Tasawuf/Sufisme
Dilain ayat Allah berfirman; “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri”
Implementasi Tasawuf/Sufisme
Rasul dalam
hadis Qudsi bahwa: “Barang siapa yang memusuhi seseorang
kekasih-Ku, Aku telah mengumumkan perang padanya. Tidak ada cara
bertaqarrub (mendekatkan diri) seorang hamba kepada-Ku yang lebih
Ku-sukai melainkan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah
Ku-fardukan kepadanya. Namun senantiasa hamba-Ku itu berusaha
mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan hal-hal yang sunat,
sehingga Aku pun mencintai (mengasihinya). Apabila ia telah Ku-cintai
(kasihi), Aku menjadi alat pendengarannya yang dengannya ia
mendengar, alat penglihatannya yang dengannya ia melihat, tangannya
yang dengannya ia memegang, dan kakinya yang dengannya ia berjalan.
Jika ia memohon kepada-Ku, Aku akan melindunginya. Dan tak pernah Aku
ragu-ragu pada sesuatu di saat Aku akan melakukannya, seperti ragu-Ku
untuk mengambil jiwa orang Mu’min yang enggan mati, sedang Aku
tidak suka mengganggunya.
a. Implementasi
pada ilmu pengetahuan.
Penelitian yang dilakukan menemukan suatu indikasi bahwa ilmu pengetahuan mesti memiliki hubungan atau persentuhan yang dalam dengan tasawuf/sufisme. Ini berarti bahwa tasawuf/sufisme tidak bisa melepaskan diri dari ilmu pengetahuan dan sebaliknya ilmu pengetahuan harus pula menghubungkan dirinya dengan tasawuf/sufisme dalam artian harus dinafasi dengan nilai-nilai tasawuf/sufisme.
Penelitian yang dilakukan menemukan suatu indikasi bahwa ilmu pengetahuan mesti memiliki hubungan atau persentuhan yang dalam dengan tasawuf/sufisme. Ini berarti bahwa tasawuf/sufisme tidak bisa melepaskan diri dari ilmu pengetahuan dan sebaliknya ilmu pengetahuan harus pula menghubungkan dirinya dengan tasawuf/sufisme dalam artian harus dinafasi dengan nilai-nilai tasawuf/sufisme.
Dengan demikian menolak adanya anggapan bahwa ilmu
pengetahuan (sains) bertentangan dengan tasawuf/sufisme. Meskipun
sering ada pendapat atau anggapan (image) dari non muslim bahwa
seseorang yang mendalami tasawuf/sufisme atau menjadi sufi ia sudah
membelakangi dunia (materi) dan ilmu pengetahuan. Pendapat ini
mendapat penolakan yang tajam oleh kalangan penganut tareqat/sufisme.
Dalam pandangan ini bahwa ilmu pengetahuan yang tidak
dilandasi nilai-nilai spiritualisme Islam “tasawuf/sufisme”, ilmu
pengetahaun itu senantiasa rentang oleh segala zaman, dan
teori-teorinya dapat ditumbangkan oleh teori-teori yang lahir
kemudian. Contoh; teori evolusi Darwin yang berlian berapa masa,
kebenaran pendapatnya kembali dipertanyakan oleh teori-teori yang
muncul kemudian.
b. Implementasi pada Perilaku (Aspek Ihsan).
Ilmu tasawuf (sufisme) adalah salah satu ilmu pendukung untuk terwujudnya manusia yang berkualitas dan memiliki akhlakul karimah. Tentu dengan melalui pembinaan seorang guru yang kharismatik melalui metodenya tersendiri yaitu bertarap khalifa, Mursyid, Jo Guru yang berkapasitas waliyah warasatul anbiyah, dan memiliki ahli silsilah yang bertalian hingga ke Rasulullah Saw. Sebagai murid harus patuh menjalani aturan dan konsisten pada maqam dan latihan-latihan kerohanian yang berlaku dalam tareqat, seperti; harus dengan tulus dan ikhlas untuk datang belajar sehingga ilmu yang dituntut dengan mudah diperoleh.
b. Implementasi pada Perilaku (Aspek Ihsan).
Ilmu tasawuf (sufisme) adalah salah satu ilmu pendukung untuk terwujudnya manusia yang berkualitas dan memiliki akhlakul karimah. Tentu dengan melalui pembinaan seorang guru yang kharismatik melalui metodenya tersendiri yaitu bertarap khalifa, Mursyid, Jo Guru yang berkapasitas waliyah warasatul anbiyah, dan memiliki ahli silsilah yang bertalian hingga ke Rasulullah Saw. Sebagai murid harus patuh menjalani aturan dan konsisten pada maqam dan latihan-latihan kerohanian yang berlaku dalam tareqat, seperti; harus dengan tulus dan ikhlas untuk datang belajar sehingga ilmu yang dituntut dengan mudah diperoleh.
Pertama
harus bertobat, menyadari sepenuhnya semua kelakuan jelek yang telah
diperbuat dan bertekad meninggalkannya secara sungguh-sungguh.
Seorang murid tidak boleh menjalani maqam secara terpisah-pisah
hingga mencapai ma’rifatullah. Dunia disimpan dalam tanganmu
jangan disimpan dalam hatimu. Anggaplah sebagai pelengkap jangan
dibuang, dengan falsafah seorang guru tareqat “menanam padi boleh
jadi juga tumbuh rumput, tetapi menanam rumput tidak mungkin tumbuh
padi”. Kunci dalam hidup ialah berzikir terus menerus tidak boleh
terputus, sebagaimana hakekat shalat ialah ketaatan yang intinya
adalah zikir, sehingga dianjurkan jangan meninggalkan tempat
shalatnya sebelum melaksanakan zikir.
Setiap murid, yang di dalam hatinya masih tersisa kepentingan
harta dunia, maka meraih harta tersebut diperbolehkan. Tetapi bila
dalam hatinya masih ada ikhtiar terhadap hal-hal yang keluar dari
hartanya, kemudian ia berharap agar bisa mengkhususkan dari harta itu
untuk kebaikan, berarti si murid itu telah memaksa dirinya. Lebih
bahaya lagi bila ia kembali secepatnya kepada dunia. Sebab tujuan
murid adalah membuang ketergantungan (selain Allah SWT.,) yaitu
keluar dari dunia, bukannya berupaya untuk kepentingan amal-amal
kebajikan. Sangat tercela, bila murid keluar dari obyek harta dan
modalnya, lantas dia sendiri justru menjadi tawanan pekerjaannya.
Karena itu seyogyanya dia menyamakan sikapnya, baik harta itu ada
ataupun tidak, sampai dirinya tidak terganggu bayang-bayang
kemiskinan, tidak membuat orang lain gelisah, walaupun orang lain itu
Majusi.
Di antara perilaku
murid, hendaknya menjauhkan diri dari penghamba dunia. Bergaul dengan
mereka adalah racun yang mematikan. Karena mereka menyerap potensi
murid, sedangkan jiwa murid semakin berkurang bersama mereka. Allah
SWT. berfirman “Dan janganlah kamu mengikuti orang-orang yang
hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, dan menuruti hawa
nafsunya.”
Orang-orang zuhud mengeluarkan harta dari kantongnya demi taqarrub kepada Allah SWT. Sedangkan ahli tasawuf mengeluarkan makhluk dan ilmu pengetahuan dari hatinya, untuk melebur dalam hakikat bersama Allah SWT. Allah SWT. berfirman:
“Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan dunia dan di dalam kehidupan di akhirat.” Yang dimaksud ayat tersebut adalah mimpi yang baik (ar-Ru’yal Hasanah) yang dilihat oleh seseorang atau diperlihatkan padanya.”
Orang-orang zuhud mengeluarkan harta dari kantongnya demi taqarrub kepada Allah SWT. Sedangkan ahli tasawuf mengeluarkan makhluk dan ilmu pengetahuan dari hatinya, untuk melebur dalam hakikat bersama Allah SWT. Allah SWT. berfirman:
“Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan dunia dan di dalam kehidupan di akhirat.” Yang dimaksud ayat tersebut adalah mimpi yang baik (ar-Ru’yal Hasanah) yang dilihat oleh seseorang atau diperlihatkan padanya.”
Riwayat dari
Abdullah bin Mas’ud yang berkata, bahwa Rasulullah saw.
bersabda:
“Mimpi itu datangnya dari Allah SWT. sedangkan mimpin lamunan itu datangnya dari seta.”
Sabdanya pula: “Barangsiapa bermimpi melihat aku, maka dia benar-benar melihatku. Sebab setan tidak bisa menyerupaiku.”
“Mimpi itu datangnya dari Allah SWT. sedangkan mimpin lamunan itu datangnya dari seta.”
Sabdanya pula: “Barangsiapa bermimpi melihat aku, maka dia benar-benar melihatku. Sebab setan tidak bisa menyerupaiku.”
Makna hadis di atas adalah bahwa yang
dimaksudkan adalah mimpi yang benar. Takwilnya juga benar. Sedangkan
mimpin seperti itu merupakan bagian dari karamah. Perwujudan mimpi
itu adalah bisikan jiwa yang masuk dalam hati, dan kondisi-kondisi
ruhani yang tergambar dalam imajinasi. Sebab seluruh perasaan tidak
tenggelam dalam tidur. Lantas orang menduga seakan-akan ia dalam
keadaan terjaga, dan melihat dengan sebenarnya. Padahal itu semua
adalah proyeksi atau gambaran yang tertanam dalam hati mereka. Ketika
rasa fisik telah hilang dari mereka, yang tertinggal adalah
obyek-obyek imajinansi yang diketahui melalui rasa dan bersifat
langsung. Kondisi seperti itu sedemikian menguat di benak pemiliknya.
Pada saat terjaga kondisi-kondisi tersebut melemah karena terdominasi
oleh kondisi-kondisi indrawi yang ada dalam kenyataan, serta
munculnya pengetahuan langsung. Contohnya, orang yang disinari oleh
lampu di tempat yang gelap gulita. Apabila matahari bersinar terang
benderang, cahaya matahari akan mengalahkan cahaya lampu tersebut,
sengga cahaya lampu seolah-olah terserap oleh cahaya matahari.
Kekasih-kekasih Allah SWT. berbeda dengan
orang-orang biasa. Perbedaan itu terlihat dari cara mereka bertingkah
laku. Ketika pertama kali melakukan perjalan rohani (zuluk) menuju
Allah SWT. yakni ketika mereka berada pada tahap awal, tingkah laku
mereka tampak seimbang antara yang buruk dengan yang baik. Semakin
tinggi zuluk atau kondisi spiritual mereka hingga ke tingkat
pertengahan (madya), tingkah laku mereka semakin penuh dengan
kebaikan. Kebaikan yang mereka peroleh itu merupakan buah kepatuhan
mereka kepada syari’at Allah SWT. dan tentu sesuai dengan peringkat
mereka masing-masing. Itulah “Akhlak” dalam kehidupan “Sufi”.
Untuk mengetahui bahwa seseorang telah
mendalami tasawuf/sufisme, nampak pada sikap dan perilakunya. Mungkin
ada yang lebih hebat menjelaskan tentang sufisme atau ilmu tasawuf
kepada orang lain yang sangat teoritis, tetapi belum pernah merasakan
sendiri arti terdalam sufisme itu. Sebab mengetahui sufisme tidak
cukup hanya melalui metode membaca, tetapi yang lebih penting ialah
mempelajari, menyelami dan mengamalkannya melalui metode-metode yang
khusus dan secara konsisten (istiqamah).
Aspek Terpenting dalam Tasawuf/Sufisme
a. Konsistensi maqam Tareqat (Istiqamah)
Tasawuf adalah salah satu jalan dari ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah Rasul dan merupakan ruh (jiwa) Islam, inilah yang disebut aspek terdalam (esoterik) Islam. Tujuannya ialah untuk mempertebal iman dan tauhid serta mempertinggi nilai akhlak manusia, terkait dengan sikap dan perilaku seorang murid tareqat yang telah dijelaskan di atas. Hal penting dalam bidang tasawuf adalah pencapaian hakekat ilmu pengetahuan (ma’rifah) bagi kalangan sufi, itu diperoleh dengan daya imajinasi dan intuisi.
Aspek Terpenting dalam Tasawuf/Sufisme
a. Konsistensi maqam Tareqat (Istiqamah)
Tasawuf adalah salah satu jalan dari ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunnah Rasul dan merupakan ruh (jiwa) Islam, inilah yang disebut aspek terdalam (esoterik) Islam. Tujuannya ialah untuk mempertebal iman dan tauhid serta mempertinggi nilai akhlak manusia, terkait dengan sikap dan perilaku seorang murid tareqat yang telah dijelaskan di atas. Hal penting dalam bidang tasawuf adalah pencapaian hakekat ilmu pengetahuan (ma’rifah) bagi kalangan sufi, itu diperoleh dengan daya imajinasi dan intuisi.
Tetapi peranan
intelektual (rasio, indra dan nalar) berfungsi sebagai pendukung demi
pengembangan ilmu pengetahuan dunia yang selalu berkembang. Dengan
demikian sufisme tidak dianggap kakuh dan terkebelakang, tetapi
justru menjadi pengendali atas segala kemajuan dan segala bentuk
penyimpangan yang bersifat keduniaan (ubudiyah). Ilmu yang paling
tinggi dan murni ialah ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung
dari Allah melalui nubuwah) . Disinilah terjadi persatuan wujud hamba
dengan Khalik dalam bentuk rohaniah al-fana’u fillah wal baqa’u
billah diartikan persatuan terjadi tetapi diri hamba tetap hamba dan
wujud Tuhan tetap Tuhan, dalam hal ini persatuan dalam aspek rasa
(batin) bukan yang lain, ini berbeda dengan pandangan Abu Yazid
al-Bistami. Peringkat ini dicapai melalui serangkaian maqam sufisme
secara teratur, dan zuhud adalah salah satu maqam yang terpenting
dalam sufisme dimana seseorang sudah mampu mengendalikan dunianya
demi akhiratnya, bukan malah sebaliknya dikendalikan oleh kepentingan
dunianya.
Tawakkal sebagai dimensi sufisme yang paling
utama, meskipun harus diawali dengan usaha manusia. Tawakkal
diartikan sebagai doktrin kepasrahan, maka tidak boleh seseorang
berpasrah lebih dahulu sebelum berusaha, tetapi ditekankan bahwa
tawakkal bisa terwujud bila maqam yang lain dapat dilalui secara
tekun dan penuh ikhlas. Ikhlas yang sudah ada pada diri kita harus
pula dibarengi dengan sipat Tobat yakni dapat menyesali segala
perbuatan yang salah yang telah dilakukannya kemudian berjanji
didalam hati tidak melakukannya lagi , setelah itu melahirkan sipat
wara’ atau senantiasa merasa berkecukupan pada apa yang telah ada
dan tidak memiliki sipat ambisi dalam mengejar yang tidak dan
bukan untuk dirinya. Dan maqam sufisme berjumlah 99 tingkatan harus
dilalui secara konsisten.
Untuk itu menjadi sufi tidak segampang
membalik telapak tangan, tetapi berupaya dalam hidup hari ini lebih
baik ketimbang menunggu hari esok. Dan mempelajari ilmu sufisme
tidaklah semudah mempelajari ilmu pengetahuan umum seperti dibangku
kuliah. Pertama-tama harus berangkat dari niat ikhlas semata karena
Allah SWT. bukan karena ada kepentingan yang lain. Jadi semua maqam
sufisme sama pentingnya dalam dunia sufisme, sehingga antara maqam
yang satu dengan yang lainnya saling terkait dan tidak bisa
dipisahkan, demikian konsekwensi dalam pengamalan sangat menentukan
keberhasilan setiap murid tarekat.
Apa bila manusia
menempuh metode yang telah diamalkan oleh para ulama sufi, maka akan
menghasilkan manusia yang berkualitas yang memiliki akhlak yang
tinggi yang disebut Insan kamil. Orang sufi dengan refleksinya bisa
mengendalikan nafsu lawwama pada dirinya. Kuncinya adalah “istiqamah”
selalu menjaga hubungan dengan Allah SWT. terus menerus yang tidak
pernah putus, sebab kapan terputus mengingat Allah maka seketika itu
bisa melenceng dari perintah-Nya. Dengan lidah yang selalu basah
dengan zikrullah dan istiqamah inilah yang merefleksikan keimanan
kita. Dan yang paling menentukan ialah aspek batiniah, tapi tidak
mematikan aspek lahiriah. Aspek batiniah dan aspek lahiriah harus
terpadu hingga sampai pada tujuan yang tinggi “ma’rifatullah”.
Esensi
shalat limah waktu yang didirikan oleh seorang hamba Allah SWT.
adalah zikrullah dan hakekat zikir adalah do’a dan inti daripada
do’a ialah mengingat Allah SWT. logikanya bahwa pelaksanaan shalat
wajib bukan hanya pada saat berdiri, ruku, dan sujud saja setelah itu
selesai, melainkan menjadi suatu keharusan bagi setiap hamba untuk
mengejawantahkan nilai shalatnya itu kedalam segala tindak dan
perilakunya secara otomatis, mulai bangun tidur hingga tidur
kembali.
b. Karamah Para Wali
Munculnya karamah bagi para Wali adalah sesuatu yang berkenan. Dalil atas perkenannya: bahwa munculnya karamah tersebut merupakan perkara yang kejadiannya irrasional. Munculnya tidak menghilangkan dasar-dasar principal agama. Maka salah satu Sifat Wajib Allah swt. adalah Al-Qudrat (Kuasa) dalam mewujudkan karamah. Apabila Allah Maha Kuasa mewujudkannya, maka tak satu pun bisa menghalangi kewenangan munculnya karamah tersebut.
b. Karamah Para Wali
Munculnya karamah bagi para Wali adalah sesuatu yang berkenan. Dalil atas perkenannya: bahwa munculnya karamah tersebut merupakan perkara yang kejadiannya irrasional. Munculnya tidak menghilangkan dasar-dasar principal agama. Maka salah satu Sifat Wajib Allah swt. adalah Al-Qudrat (Kuasa) dalam mewujudkan karamah. Apabila Allah Maha Kuasa mewujudkannya, maka tak satu pun bisa menghalangi kewenangan munculnya karamah tersebut.
Munculnya karamah merupakan tanda dari
kebenaran orang yang muncul dalam kondisi ruhaninya. Siapa yang tidak
benar, maka kemunculan seperti karamah tersebut tidak diperkenankan.
Hal yang menunjukkannya, bahwa defenisi sifat al-Qadim bagi Allah
swt. sudah jelas. Sehingga kita bisa membedakan antara orang yang
benar dalam kondisi ruhaninya dan orang yang batil dalam menempuh
bukti, dalam masalah yang spekulatif. Pembedaan itu tidak bisa
dilakukan kecuali melalui keistimewaan Wali.
Karamah
tersebut mengharuskan adanya perbuatan yang kontra adat kebiasaan,
pada masa-masa taklif, yang muncul dengan sifat-sifat kewalian dalam
pengertian sebenarnya pada kondisi ruhaninya.
Berbagai kalangan ahli hakikat membincangkan adanya perbedaan anatara karamah dengan mu’jizat. Imam Abu Ushaq al-Isfirayainy rahimahullah–berkata, “Mu’jizat merupakan bukti-bukti kebenaran para Nabi. Dan bukti kenabian tidak bisa ditemukan pada selain Nabi. Sebagaimana aksioma akal merupakan bukti bagi ilmuwan yang menunjukkan jatinya sebagai ilmuwan, tidak bisa ditemukan kecuali pada orang yang memiliki ilmu pengetahuan.” Dia juga menegaskan, “Para Wali memiliki karamah, yang serupa dengan terijabahnya doa. Bahwa karamah itu dikategorikan jenis mu’jizat bagi para Nabi, itu tidak benar.” Karena Mu’jizat para Nabi diwajibkan berdakwah atasnya, sedangkan Para Wali tidak wajib baginya berdakwa atas kekaramahannya.
Berbagai kalangan ahli hakikat membincangkan adanya perbedaan anatara karamah dengan mu’jizat. Imam Abu Ushaq al-Isfirayainy rahimahullah–berkata, “Mu’jizat merupakan bukti-bukti kebenaran para Nabi. Dan bukti kenabian tidak bisa ditemukan pada selain Nabi. Sebagaimana aksioma akal merupakan bukti bagi ilmuwan yang menunjukkan jatinya sebagai ilmuwan, tidak bisa ditemukan kecuali pada orang yang memiliki ilmu pengetahuan.” Dia juga menegaskan, “Para Wali memiliki karamah, yang serupa dengan terijabahnya doa. Bahwa karamah itu dikategorikan jenis mu’jizat bagi para Nabi, itu tidak benar.” Karena Mu’jizat para Nabi diwajibkan berdakwah atasnya, sedangkan Para Wali tidak wajib baginya berdakwa atas kekaramahannya.
Secara
keseluruhan, bahwa kewenangan munculnya karamah bagi para Wali
merupakan hal yang tidak bisa diragukan. Para jumhur ahli ma’rifat
juga berpandangan demikian, disamping banyaknya hadis dan hikayat
yang menjelaskannya, sehingga pengetahuan atas kebolehan munculnya
karamah tersebut sebagai pengetahuan yang kuat yang tidak bisa
diragukan. Hal-hal yang muncul dari kaum Sufi dan hikayatnya dikenal
banyak orang, apalagi kisah-kisah mereka, sama sekali tidak
meninggalkan keraguan secara global.
Bila ditanyakan, “bagaimana diperbolehkan menampakkan karamah-karamah tambahan ini dari segi makna-maknanya, di tas mu’jizat-mu’jizat para Rasul? Bolehkah mengutamakan para Wali ketimbang para Nabi-semoga allah swt. melimpahkan salam-Nya?”
Bila ditanyakan, “bagaimana diperbolehkan menampakkan karamah-karamah tambahan ini dari segi makna-maknanya, di tas mu’jizat-mu’jizat para Rasul? Bolehkah mengutamakan para Wali ketimbang para Nabi-semoga allah swt. melimpahkan salam-Nya?”
Jawabnya, “Karamah-karamah tersebut
bertemu dengan mu’jizat Nabi kita Muhammad saw. Sebab setiap orang
yang tidak benar Islamnya, karamahnya tidak akan muncul. Setiap Nabi
yang salah satu di anatara umatnya muncul karamahnya, maka karamah
itu tergolong mu’jizat Nabi tersebut. Sebab kalau tidak karena
kebenaran Rasul tersebut, karamah tidak akan muncul dari
pengikutnya.
Abu Yazid al-Bistamy ditanya mengenai masalah
ini, jawabanya “Perumpamaan yang diperoleh para Nabi-semoga Allah
swt. melimpahkan salam kepada mereka- ibarat tempat air (geriba) yang
didalamnya ada madunya. Madu tersebut menetes satu tetesan. Satu
tetes itu, sepadan dengan apa yang ada pada seluruh para Wali.
Sedangkan geribahnya adalah ibarat Nabi kita Muhammad saw.”
Berikut kita mengulas beberapa contoh karamah di bawah ini:
Karamah yang disebut dalam al-Quran.
1). Al-Quran banyak menyebutkan contoh soal karamah yang muncul dari para Wali. Diantaranya kisan tentang Maryam as, dan beliau tidak termasuk Nabi atau Rasul:
“Maka Tuhannya menerimanya dengan penerimaan yang baik dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik, dan Allah swt. menjadikan Zakaria pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di Mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, ‘Hai Maryam, darimana kamu memperoleh (makanan) ini? Maryam menjawab, ‘Makanan itu dari sisi Allah’ Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa dikehendaki-Nya tanpa hisab.”
Berikut kita mengulas beberapa contoh karamah di bawah ini:
Karamah yang disebut dalam al-Quran.
1). Al-Quran banyak menyebutkan contoh soal karamah yang muncul dari para Wali. Diantaranya kisan tentang Maryam as, dan beliau tidak termasuk Nabi atau Rasul:
“Maka Tuhannya menerimanya dengan penerimaan yang baik dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik, dan Allah swt. menjadikan Zakaria pemeliharanya. Setiap Zakaria masuk untuk menemui Maryam di Mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakaria berkata, ‘Hai Maryam, darimana kamu memperoleh (makanan) ini? Maryam menjawab, ‘Makanan itu dari sisi Allah’ Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa dikehendaki-Nya tanpa hisab.”
Di lain surah Allah
berfirman “Dan goyanglah pangkal pohon itu ke arahmu, niscaya pohon
itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu”.
2). Kisah Ashabul Kahfi dan sejumlah keajaiban yang muncul, seperti anjing yang berbicara dengan mereka.
3). Kisah Dzulkarnain, dan kompetensi yang diberikan oleh Allah swt. yang tidak diberikan kepada orang lain.
4). Hal-hal yang muncul dari tangan Khidhr as. Yakni perkara-perkara yang berbeda dengan adat kebiasaan, dimana hanya Khidhr yang mampu, sedang beliau bukan Nabi, tetapi Wali.
Karamah yang disebut dalam As-Sunnah
1). Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw. yang bersabda, “Tak seorang pun berbicara ketika masih dalam ayunan, kecuali tiga bayi: Isa bin Maryam, bayi di masa Juraij, dan seorang bayi lain”.
2). Hadis tentang gua: Rasulullah saw. bersabda, “Tiga laki-laki dari orang-orang terdahulu sebelum kalian berangkat atau bepergian. Mereka akhirnya harus menginap, dan masuk ke gua. Tiba-tiba ada batu besar dari atas bukit menggelincir, sehingga menutup pintu gua. Mereka berkata, “Demi Allah, kita tidak bisa selamat dari batu besar ini, kecuali bila kita berdoa kepada Allah lantaran amal-amal kita yang salah,’
Salah seorang diantara mereka berkata, ‘Aku mempunyai dua orangtua yang sudah sama-sama tua. Aku tidak pernah minum lebih dahulu, juga keluargaku sebelum keduanya. Suatu hari aku minum lebih dahulu, juga keluargaku sebelum keduanya. Suatu hari aku disibukkan pekerjaan, sampai aku tidak datang di waktu sore. Ketika pulang, keduanya tertidur. Lantas aku membuat susu untuk minuman sore bagi keduanya. Ketika kuhidangkan untuk mereka, ternyata keduanya telah tidur pulas. Aku merasa bersalah jika membangunkan mereka, dan aku tidak ingin meminumnya sebelum keduanya minum. Aku hanya bisa berdiri, sementara tempat minuman ada di tanganku, sambil menunggu bangunnya mereka berdua, hingga fajar hari tiba. Keduanya pun bangun, lalu meminum minuman sore itu.
2). Kisah Ashabul Kahfi dan sejumlah keajaiban yang muncul, seperti anjing yang berbicara dengan mereka.
3). Kisah Dzulkarnain, dan kompetensi yang diberikan oleh Allah swt. yang tidak diberikan kepada orang lain.
4). Hal-hal yang muncul dari tangan Khidhr as. Yakni perkara-perkara yang berbeda dengan adat kebiasaan, dimana hanya Khidhr yang mampu, sedang beliau bukan Nabi, tetapi Wali.
Karamah yang disebut dalam As-Sunnah
1). Diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw. yang bersabda, “Tak seorang pun berbicara ketika masih dalam ayunan, kecuali tiga bayi: Isa bin Maryam, bayi di masa Juraij, dan seorang bayi lain”.
2). Hadis tentang gua: Rasulullah saw. bersabda, “Tiga laki-laki dari orang-orang terdahulu sebelum kalian berangkat atau bepergian. Mereka akhirnya harus menginap, dan masuk ke gua. Tiba-tiba ada batu besar dari atas bukit menggelincir, sehingga menutup pintu gua. Mereka berkata, “Demi Allah, kita tidak bisa selamat dari batu besar ini, kecuali bila kita berdoa kepada Allah lantaran amal-amal kita yang salah,’
Salah seorang diantara mereka berkata, ‘Aku mempunyai dua orangtua yang sudah sama-sama tua. Aku tidak pernah minum lebih dahulu, juga keluargaku sebelum keduanya. Suatu hari aku minum lebih dahulu, juga keluargaku sebelum keduanya. Suatu hari aku disibukkan pekerjaan, sampai aku tidak datang di waktu sore. Ketika pulang, keduanya tertidur. Lantas aku membuat susu untuk minuman sore bagi keduanya. Ketika kuhidangkan untuk mereka, ternyata keduanya telah tidur pulas. Aku merasa bersalah jika membangunkan mereka, dan aku tidak ingin meminumnya sebelum keduanya minum. Aku hanya bisa berdiri, sementara tempat minuman ada di tanganku, sambil menunggu bangunnya mereka berdua, hingga fajar hari tiba. Keduanya pun bangun, lalu meminum minuman sore itu.
Ya Allah, bila yang kulakuklan itu semata hanya
untuk Diri-Mu, maka bukakanlah kami, dari kesulitan di dalam gua
ini.’Lalu batu itu pun bergeser sedikit, namun belum memberi
peluang mereka untuk keluar.
Orang kedua berkata, ‘Ya Allah, aku punya adik misan/anak perempuan paman yang paling kucintai. Suatu ketika aku merayu dirinya, namun dia menolak, sampai akhirnya aku sangat sedih selama setahun. Suatu ketika dia datang padaku, dan kuberi seratus duapuluh dinar, dengan syarat ia mau untuk berduaan saja denganku. Maka kamipun berduaan. Ketika aku menguasai dirinya (ingin menyetubuhi), dia berkata, ‘Bagimu tidak halal memecah cincin, kecuali yang berhak.’ Maka aku merasa berdosa untuk menyetubuhinya, dan aku pergi meninggalkannya. Padahal dia adalah gadis yang paling kucintai. Sementara kutinggalkan uang yang telah kuberikan padanya. Ya Allah, bila yang kulakukan itu semata demi Diri-Mu, maka bukakanlah kami dari kesulitan dalam gua ini. ‘Lalu batu itu bergeser lagi, namun mereka masih belum mampu keluar dari pintu gua.
Kemudian orang ketiga berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memperkerjakan para pekerja, kemudian aku telah memberikan upah mereka semuanya, kecuali seseorang di antara mereka, yang pergi begitu saja. Namun upah itu aku simpan dan kukembangkan. Suatu saat dia datang padaku, sambil berkata, ‘Hai Abdullah, mana upahku itu.’ Kujawab, ‘Upahmu itu adalah semua yang kau lihat ini, antara lain unta, kambing, sapi dan budak itu. ‘Dia berkata, ‘Hai Abdullah kamu jangan menghinaku! Aku katakan, ‘Aku tidak menghinamu. ‘Lantas kuceritakan kisahnya, dan akhirnya semuanya diambil dan digiringnya, tidak disisakan sama sekali. Ya Allah, apabila yang kulakukan itu semata demi Diri-Mu, maka bukakanlah kami dari kesulitan dalam gua ini.’ Batu itu bergeser lagi. Mereka pun akhirnya bisa keluar dari gua.”. Hadis ini termasuk hadis shahih yang muttafaq alaih.
Karamah Wali Mursyid
Yang Maha Mulia Bapanda H.Dermoga Barita Raja. Muhammad Syukur
1). Pada Tahun 2002 bulan Ramadan; di Sulawesi Selatan. Penulis telah memakai dua biji batu yang telah diisi dengan zikrullah untuk mengantarkan kematian seseorang yang sedang sakratul maut.
2). Pada tahun 2004 bulan Februari; di Batam. Penulis sedang I’tikap (zuluk) menyaksikan seorang teman hamil yang sudah dipastikan Dokter sudah saatnya melahirkan, tapi peraturan bahwa jama’ah yang sedang zuluk tidak boleh bubar sehingga Bapanda H. Dermoga Barita Raja memberika sebiji obat/tablet dan sedikit air minum (air tawajuh), dengan spontan yang bersangkutan langsung berkata kalau anak dalam kandungannya langsung terasa ada yang menarik naik hingga kembali ke posisi tengah-tengah dan akhirnya sepulu hari lebih ia belum melahirkan.
3). Pada tahun 2004 Maret; di Jakarta Selatan, jln, Pancoran Barat IV. Penulis telah memberi terapi pada seorang ibu yang sedang setrok menjelang 1 tahun lamanya, pertama memberi minum air putih (telah dizikirkan disebut (air tawajuh), kemudian memberikan terapi sebiji batu zikir dan sebiji lagi digenggam oleh dia akhirnya ia meminta ampun tiba-tiba bagian yang sakit menjadi ringan dan bagian yang kaku menjadi lemas dan jalannyapun menjadi biasa dan kaki sudah tidak diseret lagi.
4) Pada tahun 2004 Maret, di Tangerang; penulis bertiga dengan teman dijemput oleh keluarga orang yang sedang sakit para bahkan sudah dianggap oleh keluarga dan dokter sudah “Sakit Jiwa”, karena ia perempuan maka penulisla yang menyentuhnya disaksikan oleh kedua orang tuanya dan keluarga lainnya. Penulis mencoba meletakkan batu zikir di atas dadanya tiba-tiba memerah muka dan bagian badannya, seperti penyakit cacar (sarampa), sedangkan bagian tangan dan kakinya membiru.
Dari kejadian-kejadian di atas hanyalah merupakan bagian yang sangat kecil dari ke-keramatan yang dimilki oleh Bapak Dermoga Barita Raja. Secara konsekwensi dalam dunia ketarekatan bahwa semua pengamal yang konsistensi dan senantiasa menjaga hadab (etika ketarekatan), tidak melanggara syariat dan selalu menjaga perilaku, maka mereka memiliki berbagai macam potensi pada dirinya, itu adalah janji Allah yang pasti.
Pada bagian ini penulis ingin mengatakan bahwa betapa pentingnya ilmu tasawuf/sufisme dipelajari dan diamalkan, mesikupun sama sekali bukan karena bermaksud untuk mencari kekeramatan, karena kalau itu yang dimaksudkan maka tidak ada sesuatau yang diperoleh (hampa) belaka. Tetapi beramal karena Allah SWT. semata.
Ke-kekeramatan pada diri seorang Wali dikenal sejak jaman dulu adanya, dan semua itu terlahir dari sosok pengamal tasawuf/sufisme. Dan bahkan ilmu pengetahuan pun (tasawuf/sufisme) yang ditulis sejak jaman dahulu (klasik) masih dapat kita baca hari ini, contoh Ihya Ulumuddin ditulis oleh Imam al-Ghazali, dan berbagai kitabnya. Risalatul Qusyairy yang ditulis oleh Imam Qusyairy demikian dengan kitab-kitabnya yang lain, dan lain-lain semuanya masih kita dapat membacanya sekarang dan bahkan tidak pernah surut peminatnya. Ini sangat nampak perbedaannya bila dibandingkan dengan ilmu pengetahuan lain, yang telah ditulis oleh para pemikirnya, dengan segala potensi akalnya, sudah banyak yang tidak bisa diterima secara ilmiah sampai hari ini. Pertanyaannya apa yang menyebabkan hal itu bisa terjadi, ini menarik untuk diteliti oleh kalangan akademisi yang berkecimpung pada bidang keagamaan, atau pada bidang ilmu-ilmu sosial lainnya. Ini penting untuk memperkaya khazana ilntelektual kita sebagai ilmuan.
Catatan akhirKecenderungan manusia mengenal dan mendekatkan diri pada Allah SWT. termasuk salah satu naluri (tabiat) insan yang perlu terhadap hikmah dan rahmat Allah SWT. yang dirasakan begitu kasih dan sayang terhadap dirinya. Manakala iman dan tauhid telah tertanam kuat dan mendekap mesra dalam kalbu seseorang maka cenderunglah dia untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. terus menerus hingga dia merasakan kesedapan iman (halawatul iman) dan kenikmatan spiritual yang tinggi. Perasaan ini membangkitkan cinta dan menggelorakan rindu terhadap Allah SWT. karena Allah SWT. sedemikian dekat.
Orang kedua berkata, ‘Ya Allah, aku punya adik misan/anak perempuan paman yang paling kucintai. Suatu ketika aku merayu dirinya, namun dia menolak, sampai akhirnya aku sangat sedih selama setahun. Suatu ketika dia datang padaku, dan kuberi seratus duapuluh dinar, dengan syarat ia mau untuk berduaan saja denganku. Maka kamipun berduaan. Ketika aku menguasai dirinya (ingin menyetubuhi), dia berkata, ‘Bagimu tidak halal memecah cincin, kecuali yang berhak.’ Maka aku merasa berdosa untuk menyetubuhinya, dan aku pergi meninggalkannya. Padahal dia adalah gadis yang paling kucintai. Sementara kutinggalkan uang yang telah kuberikan padanya. Ya Allah, bila yang kulakukan itu semata demi Diri-Mu, maka bukakanlah kami dari kesulitan dalam gua ini. ‘Lalu batu itu bergeser lagi, namun mereka masih belum mampu keluar dari pintu gua.
Kemudian orang ketiga berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memperkerjakan para pekerja, kemudian aku telah memberikan upah mereka semuanya, kecuali seseorang di antara mereka, yang pergi begitu saja. Namun upah itu aku simpan dan kukembangkan. Suatu saat dia datang padaku, sambil berkata, ‘Hai Abdullah, mana upahku itu.’ Kujawab, ‘Upahmu itu adalah semua yang kau lihat ini, antara lain unta, kambing, sapi dan budak itu. ‘Dia berkata, ‘Hai Abdullah kamu jangan menghinaku! Aku katakan, ‘Aku tidak menghinamu. ‘Lantas kuceritakan kisahnya, dan akhirnya semuanya diambil dan digiringnya, tidak disisakan sama sekali. Ya Allah, apabila yang kulakukan itu semata demi Diri-Mu, maka bukakanlah kami dari kesulitan dalam gua ini.’ Batu itu bergeser lagi. Mereka pun akhirnya bisa keluar dari gua.”. Hadis ini termasuk hadis shahih yang muttafaq alaih.
Karamah Wali Mursyid
Yang Maha Mulia Bapanda H.Dermoga Barita Raja. Muhammad Syukur
1). Pada Tahun 2002 bulan Ramadan; di Sulawesi Selatan. Penulis telah memakai dua biji batu yang telah diisi dengan zikrullah untuk mengantarkan kematian seseorang yang sedang sakratul maut.
2). Pada tahun 2004 bulan Februari; di Batam. Penulis sedang I’tikap (zuluk) menyaksikan seorang teman hamil yang sudah dipastikan Dokter sudah saatnya melahirkan, tapi peraturan bahwa jama’ah yang sedang zuluk tidak boleh bubar sehingga Bapanda H. Dermoga Barita Raja memberika sebiji obat/tablet dan sedikit air minum (air tawajuh), dengan spontan yang bersangkutan langsung berkata kalau anak dalam kandungannya langsung terasa ada yang menarik naik hingga kembali ke posisi tengah-tengah dan akhirnya sepulu hari lebih ia belum melahirkan.
3). Pada tahun 2004 Maret; di Jakarta Selatan, jln, Pancoran Barat IV. Penulis telah memberi terapi pada seorang ibu yang sedang setrok menjelang 1 tahun lamanya, pertama memberi minum air putih (telah dizikirkan disebut (air tawajuh), kemudian memberikan terapi sebiji batu zikir dan sebiji lagi digenggam oleh dia akhirnya ia meminta ampun tiba-tiba bagian yang sakit menjadi ringan dan bagian yang kaku menjadi lemas dan jalannyapun menjadi biasa dan kaki sudah tidak diseret lagi.
4) Pada tahun 2004 Maret, di Tangerang; penulis bertiga dengan teman dijemput oleh keluarga orang yang sedang sakit para bahkan sudah dianggap oleh keluarga dan dokter sudah “Sakit Jiwa”, karena ia perempuan maka penulisla yang menyentuhnya disaksikan oleh kedua orang tuanya dan keluarga lainnya. Penulis mencoba meletakkan batu zikir di atas dadanya tiba-tiba memerah muka dan bagian badannya, seperti penyakit cacar (sarampa), sedangkan bagian tangan dan kakinya membiru.
Dari kejadian-kejadian di atas hanyalah merupakan bagian yang sangat kecil dari ke-keramatan yang dimilki oleh Bapak Dermoga Barita Raja. Secara konsekwensi dalam dunia ketarekatan bahwa semua pengamal yang konsistensi dan senantiasa menjaga hadab (etika ketarekatan), tidak melanggara syariat dan selalu menjaga perilaku, maka mereka memiliki berbagai macam potensi pada dirinya, itu adalah janji Allah yang pasti.
Pada bagian ini penulis ingin mengatakan bahwa betapa pentingnya ilmu tasawuf/sufisme dipelajari dan diamalkan, mesikupun sama sekali bukan karena bermaksud untuk mencari kekeramatan, karena kalau itu yang dimaksudkan maka tidak ada sesuatau yang diperoleh (hampa) belaka. Tetapi beramal karena Allah SWT. semata.
Ke-kekeramatan pada diri seorang Wali dikenal sejak jaman dulu adanya, dan semua itu terlahir dari sosok pengamal tasawuf/sufisme. Dan bahkan ilmu pengetahuan pun (tasawuf/sufisme) yang ditulis sejak jaman dahulu (klasik) masih dapat kita baca hari ini, contoh Ihya Ulumuddin ditulis oleh Imam al-Ghazali, dan berbagai kitabnya. Risalatul Qusyairy yang ditulis oleh Imam Qusyairy demikian dengan kitab-kitabnya yang lain, dan lain-lain semuanya masih kita dapat membacanya sekarang dan bahkan tidak pernah surut peminatnya. Ini sangat nampak perbedaannya bila dibandingkan dengan ilmu pengetahuan lain, yang telah ditulis oleh para pemikirnya, dengan segala potensi akalnya, sudah banyak yang tidak bisa diterima secara ilmiah sampai hari ini. Pertanyaannya apa yang menyebabkan hal itu bisa terjadi, ini menarik untuk diteliti oleh kalangan akademisi yang berkecimpung pada bidang keagamaan, atau pada bidang ilmu-ilmu sosial lainnya. Ini penting untuk memperkaya khazana ilntelektual kita sebagai ilmuan.
Catatan akhirKecenderungan manusia mengenal dan mendekatkan diri pada Allah SWT. termasuk salah satu naluri (tabiat) insan yang perlu terhadap hikmah dan rahmat Allah SWT. yang dirasakan begitu kasih dan sayang terhadap dirinya. Manakala iman dan tauhid telah tertanam kuat dan mendekap mesra dalam kalbu seseorang maka cenderunglah dia untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. terus menerus hingga dia merasakan kesedapan iman (halawatul iman) dan kenikmatan spiritual yang tinggi. Perasaan ini membangkitkan cinta dan menggelorakan rindu terhadap Allah SWT. karena Allah SWT. sedemikian dekat.
Manusia yang demikian ini berusaha dengan penuh
ikhlas menempuh jalan (thariqah/zuluk) yang diyakininya dapat
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Manusia yang begitu rindu kepada Allah SWT. yang telah banyak memberikan rahmat dan kasih sayangnya kepada hamba-Nya, bagi mereka, sesungguhnya Allah SWT. telah merentangkan jalan yang mudah, gampang dan lurus guna mencapai tingkat kerohanian yang tinggi. Jalan tersebut telah ditandaskan dalam Alquran, yaitu harus mencari Wasilah/Jalan/Tareqat.
Manusia yang begitu rindu kepada Allah SWT. yang telah banyak memberikan rahmat dan kasih sayangnya kepada hamba-Nya, bagi mereka, sesungguhnya Allah SWT. telah merentangkan jalan yang mudah, gampang dan lurus guna mencapai tingkat kerohanian yang tinggi. Jalan tersebut telah ditandaskan dalam Alquran, yaitu harus mencari Wasilah/Jalan/Tareqat.
Sakinah, ketenagan dan
kebahagian yang didambakan oleh setiap insan itulah yang diusahakan
oleh ahli tasawuf/sufisme sehingga mencapai keridhaan Allah SWT.
seperti yang difirmankan oleh Allah SWT. “Hai jiwa yang tenang dan
tentram kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai,
yaitu masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam
sorga-Ku”
Gambaran di atas jelas bahwa
masalah tasawuf/sufisme menitikberatkan pembidangannya kepada masalah
rohani/batiniah. Orang yang melaksanakan ajaran agama karena Allah
SWT. semata harus terpaut zakir dan batin dan harus berjalan secara
simultan bersamaan zahir dan batin. Amalan tasawuf/tareqat tanpa
syariat tidak dapat berbekas, sebaliknya amalan syariat tanpa
tasawuf/sufisme tidaklah berarti. (Ditulis oleh: Hadarah Rajab)
Daftar
Pustaka:
Departemen Agama RI.. Al-Quran dan Terjemahnya.
Syekh Abdul. Qadir al-Jilani; Sirr al-Asrar fi ma Yahtaju Ilahi al-Abrar. Diterjemahkan dengan judul “Rahasia Sufi”. Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002.
Hadarah Rajab; Akhlak Sufi, Cermin Masa Depan Umat. Cet. I. 2003. Jakarta: Al-Mawardi Prima
_____________; Tesis Penelitian S-2. Makassar: Universitas Muslim Indonesia. 1997
KH. Ali Usman H.A.A. Dahlan. Hadis Qudsi. Cet.I. Bandung: Diponegoro. 1999
Imam al-Qusyairy an-Naisabury; Risalahtul Qusyairiyah. Induk Ilmu Tasawuf. Cet. I. Surabaya: Risalah Gusti. 1997.
Muhammad bin Ismail al-Bukhary; Shahih Bukhary. Juz. IV. Bandung: Maktaba Dahlan. T.th.
Muhammad bin Issa at-Turmidzi; Sunan Turmudzi. Juz. IV. Darul Firkr. 1994
Prof. DR. H. Syekh Kadirun Yahya; Capita Selekta. Tentang Agama Metafisika Ilmu Eksakta. Medan: Universitas Panca Budi. 1981
____________; Syariat Dan Tarekat. Pola Ajaran Dan Amal Agama Islam. Rapat Kerja Nasional BKK. Jakarta: Baitul Amin Sawangan. 1998.
Departemen Agama RI.. Al-Quran dan Terjemahnya.
Syekh Abdul. Qadir al-Jilani; Sirr al-Asrar fi ma Yahtaju Ilahi al-Abrar. Diterjemahkan dengan judul “Rahasia Sufi”. Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002.
Hadarah Rajab; Akhlak Sufi, Cermin Masa Depan Umat. Cet. I. 2003. Jakarta: Al-Mawardi Prima
_____________; Tesis Penelitian S-2. Makassar: Universitas Muslim Indonesia. 1997
KH. Ali Usman H.A.A. Dahlan. Hadis Qudsi. Cet.I. Bandung: Diponegoro. 1999
Imam al-Qusyairy an-Naisabury; Risalahtul Qusyairiyah. Induk Ilmu Tasawuf. Cet. I. Surabaya: Risalah Gusti. 1997.
Muhammad bin Ismail al-Bukhary; Shahih Bukhary. Juz. IV. Bandung: Maktaba Dahlan. T.th.
Muhammad bin Issa at-Turmidzi; Sunan Turmudzi. Juz. IV. Darul Firkr. 1994
Prof. DR. H. Syekh Kadirun Yahya; Capita Selekta. Tentang Agama Metafisika Ilmu Eksakta. Medan: Universitas Panca Budi. 1981
____________; Syariat Dan Tarekat. Pola Ajaran Dan Amal Agama Islam. Rapat Kerja Nasional BKK. Jakarta: Baitul Amin Sawangan. 1998.