Menurut jalan kaum
sufi, orang yang telah mencapai keadaan sadar lahir batin, dan yang
telah berhasil mencapai suatu titik keseimbangan dan sentralitas, dapat menolong
orang lain dan menggambarkan kepada mereka keadaan kemajuannya.
Karena itu kita dapati bahwa sepanjang
zaman kaum sufi tetap saling berdekatan. Para syekh sufi menyertai muridnya
dalam semua tahap kemajuan.
Kita harus membedakan antara istilah
"keadaan" (hal) dan "kedudukan" (maqam).
Yakni perbedaan
antara bagaimana dan di mana. Keadaan (hal) berarti sesuatu yang dapat
diraba atau dirasakan. Kadang-kadang orang dapat merasakan keadaan rohani yang
sangat murah hati atau peningkatan kesadaran yang hebat. Namun keadaan ini
mungkin tidak langgeng. Yang sesungguhnya diinginkan oleh si pencari
(salik) ialah mencapai suatu kedudukan (maqam) yang hanya
dapat terjadi bila didirikan sebagaimana mestinya dan kokoh. Kedudukan tidak
bersifat sementara dan selalu dapat diandalkan dan diingat. Kebanyakan penempuh
jalan Allah (salik) akan merasakan keadaan-keadaan yang berbeda dengan berbagai
macam tingkat kelanggengan yang tidak permanen, yang tidak memuaskan dan tak
cukup.
Karena itulah maka pertolongan diperlukan untuk menjamin agar seorang
pencari menjadi tetap dalam kedudukan (maqam) yang diinginkan. Maka
mendampingi dan berhubungan dengan orang-orang yang berada pada jalan itu adalah
suatu faktor penting dalam kemajuan seorang pencari. Alasan penting lain untuk
mendapatkan pendampingan yang tepat ialah bahwa kita selalu merupakan produk
dari saat yang terakhir, dan karena saat itu dilahirkan dari saat sebelumnya,
dan begitu seterusnya, ada suatu kesinambungan. Seseorang yang berdiri sendiri
tak dapat menyadari seberapa jauh ia telah menyimpang dari jalan
pengetahuan-diri atau penyadaran-diri. Dengan demikian, seorang pencari
memerlukan teman untuk menggambarkan kepadanya, seperti cermin, tentang keadaan
atau kedudukannya.
Sebagaimana dalam kasus ilmu fisika
atau ilmu alam, di mana tak pelak lagi kita akan cenderung mengikuti seseorang
yang mempunyai pengalaman dan kualifikasi yang lebih banyak dalam ilmu-ilmu
tersebut, maka prinsip ini pun berlaku pada ilmu tentang diri (nafs).
Pada tingkat fisik, kita secara konstan berusaha ke arah keselarasan dan
tindakan yang benar, dan kita mengikuti orang yang ahli dalam bidang ini.
Demikian pula bagi keselarasan batin, orang yang paling memenuhi syarat adalah
syekh spriritual sufi yang sejati. Namun, ada suatu perbedaan antara ilmu lahir
dan ilmu batin. Dalam ilmu lahir, segala cacat dan kekurangsempurnaan dapat
dideteksi dengan mudah. Tidak demikian halnya dengan ilmu batin, misalnya,
dimana seseorang dapat tersenyum padahal sebenarnya ia sangat resah. Pengetahuan
tentang ilmu batin memerlukan spesialisasi yang lebih dalam. Yang diperlukan
adalah obat "hati", yang tidak mudah diperoleh atau diberikan, sedang
penyembuhan fisik dapat ditentukan, dianalisis dan logis, sehingga lebih mudah
dicapai.
Adapun terhadap pertanyaan apakah yang
terbaik itu hanya mengikuti satu guru rohani saja, ataukah banyak. Diantara
orang-orang besar yang telah saya baca riwayatnya dan pernah saya temui,
sebagian telah mengikuti banyak syekh sufi. Namun pada hakikatnya penempuh
sejati jalan pencerahan hanya melihat satu syekh sufi. Para syekh sufi itu
mungkin berbeda dalam bentuk dan ciri lahiriahnya, tetapi hakikat batinnya
adalah satu dan sama. Seorang syekh sufi mungkin sangat tua dan sangat pendiam,
syekh lainnya mungkin masih muda dan dinamis. Yang satu mungkin telah
berperan-aktif secara politik, sedang yang lainnya tidak demikian. Seseorang
mungkin produktif secara ekonomi dan bekerja di pertanian. Yang lainnya menjadi
ilmuwan. Yang satu mungkin sangat akrab bermasyarakat sedang yang lainnya
menjauhi masyarakat dan lebih menyendiri, dan sebagainya. Penampilan lahiriah
dan kecenderungan mereka, seperti sidik jari, berbeda-beda, tetapi seorang
pencari yang tulus tidak memusingkan yang lahiriah. Seorang pencari yang
mentaati batas-batas yang ditetapkan oleh syari'at sangat memperhatikan
perkembangan batin.
Hakikat batin berhubungan dengan esensi
dan sumber. Bilamana hakikat batin mendatangi sumber, maka terjadilah kesatuan.
Bilamana orang bergerak menjauhi sumber cahaya, maka ia membeda-bedakan dan
melihat berbagai bayangan-bayangan yang berbeda dan sama serta profil yang
berbeda-beda. Makin dekat orang meridatangi sumber cahaya, makin sedikit ia
melihat perbedaan, sampai ia silau dan tenggelam serta terliputi oleh cahaya itu
sendiri. Dengan kata lain, apabila seseorang telah mengambil seorang guru sufi
sejati secara benar maka pada hakikatnya ia telah mengambil semua guru sufi.
Adalah keliru mengira bahwa orang dapat membuang satu guru sufi lalu pergi
kepada guru lainnya, kecuali apabila yang pertama tidak becus atau
penipu.
Ketika si pencari berkembang dan
bergerak maju, ia dapat melihat dirinya diawasi oleh guru rohaninya dan para
guru rohani yang ditemuinya karena rasa hormat guru rohaninya sendiri. Pencari
yang cerdas akan selalu hidup dan berperilaku seakan-akan semua syekh sufi yang
telah ditemui sedang mengawasinya, sedang benar-benar ada bersama dia dan
menjadi pembimbing, pemberi peringatan, dan sahabatnya.
Lantas timbul pertanyaan besar,
bagaimana cara si pencari mendapatkan syekh sufi yang sejati? Atau, bagaimana
dapat meyakini kualitas syekh tersebut? Para pengikut tradisi esoterik dan
kebatinan percaya bahwa rahmat Allah menembus dan meliputi setiap situasi dan
segala sesuatu. Guru yang tepat muncul pada saat yang tepat apabila seseorang
mempunyai kesungguhan hati dan akhlak yang benar. Akhlak yang benar itu adalah
kesabaran dan pengenalan terhadap kebutuhan. Dan dengan rahmat Allah inilah
datang jawaban yang tepat pada waktu yang tepat bagi si
pencari.
Seorang guru spiritual sejati harus
mempunyai kualitas-kualitas dasar yang layak, sebagaimana seorang dokter harus
memenuhi persyaratan dasar yang primer sebelum ia melakukan praktik kedokteran.
Sebagai permulaan, seorang pemandu spiritual, yakni syekh sufi, harus mengetahui
segala aspek lahiriah dari jalan Islam yang asli dan jalan hidup Islam. Ia harus
sepenuhnya mengenal pengetahuan dan amalan Islam. Ia harus menerapkan apa yang
ada dalam Al-Qur'an dan sunnah Nabi. Apabila ia tidak mengamalkan hukum-hukum
lahiriah, bagaimana mungkin ia mempraktikkan aspek-aspek batin dari jalan hidup
ini, apalagi menganjurkan orang lain untuk mengamalkannya? Maka guru spiritual
yang sejati harus menghayati sendiri dengan sepenuhnya peraturan-peraturan lahir
dan batin dalam Islam.
Syarat lain bagi seorang syekh sufi
sebagai guru sejati adalah bahwa ia harus telah mencapai pencerahan yang
sesungguhnya dengan mencapai pengetahuan yang sempurna tentang diri. Syekh harus
mengetahui cakrawala diri (nafs) yang luar biasa luasnya. Barangsiapa
mengenal dirinya, sesungguhnya ia mengenal Tuhannya.
Seorang syekh sufi sejati juga harus
sudah mendapat izin secara ikrar untuk pergi dan membimbing orang lain pada
jalan pengetahuan-diri, oleh seorang guru yang telah mencapai pencerahan dan
berpengalaman serta telah diizinkan untuk mengajar, dan seterusnya, sampai
kepada Nabi Muhammad SAW.
Karena, ada orang-orang yang tetap mentaati batas
lahiriah syariat Islam, ada yang telah mencapai pengetahuan-diri, ada pula yang
telah mencapai makrifat dan pengetahuan tentang diri, namun mereka tak mampu
membimbing orang lain. Sebagaimana tidak cukup bagi seorang dokter hanya dengan
sekedar mengkaji dan lulus ujian, serta mengamati dan menjadi asisten dokter
lain, sebelum ia dapat membuka praktik sendiri. Ia juga harus diberi izin atau
lisensi untuk praktik dokter oleh seorang dokter berkualifikasi yang puas dengan
kemampuannya untuk berpraktik.
Syarat lainnya ialah bahwa harus ada
seorang pencari yang menerima pengetahuan dari syekh sufi, sebagaimana harus ada
pasien sebelum dokter dapat mempraktikkan kedokterannya. Akhirnya, sebagaimana
tak ada gunanya bagi seorang dokter untuk mengurus orang sakit apabila si pasien
tidak mampu atau tidak mau menerima obat atas penyakitnya, maka tak ada gunanya
syekh sufi apabila si pencari tidak sungguh-sungguh
mengikutinya.
Sekarang kita sampai pada hubungan
antara pencari dan guru. Sejauh mana orang sakit mengambil maslahat dari dokter
tergantung pada sejauh mana kepercayaannya terhadap obat yang diresepkan dan
kerajinannya mengikuti resep itu. Prinsip yang sama, hanya diperbesar, berlaku
pada ilmu pengetahuan-diri dan tasawuf. Akhirnya, yang penting adalah ketajaman
dan kehalusan pemahaman antara si syekh sufi dan si murid. Jarak hubungan mereka
yang hakiki akan menentukan kecepatan si pencari dalam mengambil dan menyerap
warna dan pengertian si guru. Guru itu bagaikan sebuah garputala, dan apabila si
murid membiarkan dirinya secara total bergetar dalam gaungnya, yakni sepenuhnya
mengikuti gurunya, maka ia akan segera menyanyikan lagu yang sama dengan guru
spiritualnya. Ini tidak terjadi dengan serta-merta, tapi dapat berkembang dan
berevolusi dengan menanyakan, menguji dan menyesuaikan, sampai si pencari
mempercayai gurunya sepenuhnya. Akan datang suatu waktu ketika komitmen total
harus dibuat. Si pencari akan memasuki suatu perjanjian yang disebut
inisiasi (pelantikan).
Upacara inisiasi telah menjadi suatu
peristiwa penting di kalangan banyak tarekat sufi. Banyak sufi semu telah
menirunya dan telah membumbuinya lebih jauh serta menempelkan nilai-nilai mistik
kepadanya. Satu contoh ialah praktik-praktik rahasia kaum Freemason. Dalam
kelompok ini, bila seorang anggota mencapai level tertentu di dalam "tarekat"
itu, ia dikubur hidup-hidup untuk sementara dalam sebuah peti mati, yang secara
simbolis menyiratkan pengalaman pribadi tentang kematian, sementara masih berada
dalam kehidupan dunia ini. Setelah beberapa saat ia dikeluarkan dari peti mati
dan "dikembalikan" kepada kehidupan ini. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Matilah
sebelum kamu mati," yang artinya melakukan pelepasan dan kebebasan sebelum
terjadi peristiwa pelepasan dari jasad Anda.
Fondasi inisiasi adalah suatu ikatan
atau perjanjian yang mempersatukan guru dan murid. Perjanjian tersebut tidak
tertulis dan karena itu mengambil bentuk baiat (sumpah setia). Si
pencari setuju untuk mentaati si guru, dan si guru setuju untuk mengurus
kemajuan si murid serta membimbingnya.
Kebalikan dari inisiasi, yakni
pengusiran, kadang-kadang juga terjadi ketika si guru dan murid mencapai suatu
keadaan di mana ikatan antara keduanya menjadi tak berlaku dan hubungan itu
mati. Ada kalanya pencari meninggalkan gurunya dan menyoroti segala yang nampak
tidak menyenangkan pada si guru. Kemarahan si pencari menyebabkan ia melihat
semua aspek negatif dari hubungan itu, dan menurut penglihatannya sia-sialah
segala pengorbanan yang telah dilakukannya. Bagi si guru, si pencari yang
minggat dengan kemarahan itu adalah seorang korban baru dari nafsu yang rendah
dalam diri manusia.
Derajat kecanggihan dan kompleksnya
peraturan inisiasi nampaknya banyak tergantung pada kecenderungan syekh sendiri,
dan pada lingkungannya. Beberapa syekh tertarik pada upacara-upacara, pada
hierarki, dan pada pemberian nama-nama kepada orang sesuai dengan kedudukan
(maqam) dan kapasitasnya, seperti, misalnya, para syekh Sanusi di Libya
yang secara spiritual, sosial, politik, dan ekonomi memimpin dan menguasai
jaringan desa dan kota yang sangat luas selama hampir satu abad. Di sisi lain.
beberapa syekh tidak menggunakan bentuk formal atau seremonial dalam inisiasi,
entah karena watak dari kedudukan mereka dalam masyarakat atau karena mereka
tidak memandangnya perlu. Jadi, lingkungan sosio-kultural dan pembawaan para
syekh itu sendiri merupakan dua faktor utama yang menentukan derajat formalitas
dalam setiap tarekat sufi.
Tujuan terakhir dari syekh sufi ialah
membantu muridnya untuk menemukan kebenaran dalam diri dan untuk dicerahi
tentang hakikat. Agar terpenuhi setiap waktu, pentinglah menemukan sebab-sebab
ketidakbahagiaan. Sebab hakiki dari semua ketidakpuasan berakar pada pelanggaran
batas-batas, pembangkangan, pengharapan, hasrat, ketakutan, kecemasan dan
aspek-aspek lain seperti kurangnya pemahaman tentang alam hakikat. Dari sisi
pandang kaum sufi, amal ibadah dasar yang ditetapkan oleh syari'at, seperti
shalat, puasa di bulan Ramadlan, zakat, naik haji ke Makkah, dan seterusnya,
walaupun wajib, tidaklah cukup bagi kebanyakan manusia yang sakit dalam rumah
sakit besar bernama dunia ini.
Dunia adalah rumah sakit Tuhan, dan para rasul,
nabi, serta para wali atau syekh sufi adalah dokter jiwanya. Karena ada berbagai
jenis penyakit, maka bangsal rumah sakit pun berbeda-beda. Ada klinik di mana
pasien tidak tinggal lama ada kamar di mana pasien tinggal beberapa minggu atau
bulan; dan ada kamar bedah di mana dokter, atau syekh sufi, terus sibuk
"mengoperasi" pasien-pasiennya. Kita dapati pula "obat-obat" diresepkan sesuai
dengan keperluan khusus si pasien, dengan mempertimbangkan lingkungan seluruhnya
dan semua keadaan sekitar.
Fungsi terakhir dari seorang guru sufi
ialah memindahkan si pencari secara berangsur-angsur, sesuai dengan kecepatan
langkahnya, sampai ke tingkat di mana ia mampu membaca "kitab" yang ada di dalam
"hati"-nya. Apabila si pencari mempelajari seni ini dan menjadi kuat serta
bertindak sesuai kehendak, maka jelaslah ia sedang maju dan berkembang. Tujuan
si syekh ialah melepaskan dan menyampaikan kepada orang lain apa yang telah
dicapainya sendiri. Proses ini, sebagaimana dinyatakan sebelumnya, dapat
ditingkatkan apabila lingkungan maupun pendampingannya tepat, dan bilamana si
murid berniat untuk belajar dan berkemauan untuk bertindak, dan bertindak dengan
semestinya. Guru tidak bisa berbuat banyak bila si pencari atau murid tidak
ingin maju. Si penempuh jalan (salik) bisa menyerah pada suatu tahap perjalanan
(suluk), sekalipun tinggal selangkah lagi. Namun, kadang-kadang, sekalipun si
murid ingin maju, tidak ada jaminan bahwa tujuannya akan terpenuhi sesuai dengan
harapan. Syekh al-Faituri (m. 1979) berkata sebagai berikut tentang dilema guru
dalam salah satu syairnya:
Betapapun besar si guru berusaha.
Betapapun besar si murid menghendaki. Betapapun khusyuknya dia (beribadat) siang
dan malam, Akhirnya pencerahan adalah anugerah Allah.
Tugas guru ialah membimbing si pencari
sepanjang jalan yang sudah ditertibkan sampai ke titik di mana ia mampu duduk
dalam kejagaan mutlak tanpa menjaga sesuatu. Ini puncak terakhir yang murni dan
sederhana dari kondisi meditasi (khalwat). Sejak itu seterusnya, hanya
Allah yang dapat menolong dia. Jadi, si pencari harus melengkapi sendiri
setengah lingkaran, tetapi setengah lingkaran lagi tidak berada dalam
kekuasaannya. Anda naik setinggi Anda dapat memanjat, lalu berserah
diri!
Menurut pengalaman para sufi, tingkat
kemajuan sepanjang perjalanan spiritual (suluk) tidak menurut garis lurus.
Menurut studi mekanistis, seperti mempelajari bahasa, kemajuan itu berjalan agak
lurus. Makin banyak waktu yang Anda curahkan untuk mempraktikkan bahasa, makin
cakap Anda dalam berbahasa, karena hal itu dapat diprogram sehingga dapat
diukur, dan oleh karena itu lebih mudah diperoleh.
Di sisi lain, ilmu kebatinan,
dapat diukur tetapi sukar. Apabila seseorang sanggup melenyapkan sama sekali
segala keterikatan sekarang ini juga, maka kebangunan akan segera tercapai.
Apabila tidak demikian, ia harus melewati tumpukan disiplin, peringatan yang
terus-menerus, dan penderitaan yang tak henti-henti untuk dapat sampai pada
kesadaran yang sempurna. Kemajuan spiritual tidak diukur seperti mengukur
usaha-usaha lain. Orang mungkin menghabiskan waktu bertahun-tahun tanpa nampak
terjadi sesuatu, dan kemudian tiba-tiba saja dalam dua hari segala sesuatu
terjadi.
Orang mungkin menghabiskan waktu bertahun-tahun mentaati gurunya, dan
merasa bahwa tak terjadi banyak kemajuan, padahal dalam kenyataannya mungkin
amat banyak "karat" spiritual telah disingkirkan selama waktu itu. Seperti
menyingkirkan karat setebal beberapa inci, dan masih belum dapat melihat dasar
logam di bawahnya, padahal logam itu mungkin sebenarnya hanya tinggal satu
milimeter karat lagi. Kita tak mampu mengukur kemajuan spiritual secara
lahiriah, karena ia berdasar pada kesucian "hati" dan kemauan untuk menanggalkan
keterikatan. Itu tergantung pada derajat ketundukan si pencari kepada nabi.
Mula-mula ia tunduk dengan menggunakan penalaran dan akalnya, dan dengan
mempelajari seluruh hubungan sebab-akibat.
Kemudian, kemajuan spiritual
mengambil momentumnya sendiri. Sesudah itu, ketundukan yang sederhana membawanya
kepada ketundukan yang lebih manis dan lebih spontan tanpa mengandung keraguan.
Sebelum keadaan ini tercapai, tak banyak yang dapat terjadi. Jadi, waktu yang
diperlukan untuk terjadinya pembukaan-pembukaan tertentu tidak dapat diukur
semudah itu. Hubungan yang patut antara pencari dan guru spiritual diperlukan
agar dapat dicapai kemajuan yang berkelanjutan. Murid terdekat Syekh Sufi Imam
Junaid bernama Syibli. Imam Junaid (m. 910) sangat mencintainya.
Pernah, dalam
suatu pertemuan, salah seorang anggotanya mulai mengagumi dan memuji Syibli di
hadapannya dan banyak orang lain. Imam Junaid menyela lalu mulai menceritakan
segala kesalahan dan kekurangan Syibli. Syibli merasa malu dan diam-diam
mengundurkan diri dari pertemuan itu. Ketika ia telah pergi, Imam Junaid
berkata, "Saya melindunginya dengan perisai penghinaan dari panah berbisa pujian
yang berlebihan." Karena, Imam Junaid tahu bahwa Syibli hampir mencapai suatu
maqam spiritual, dan apabila pujian-pujian itu tidak dipotong, mungkin akan
melambungkan egonya dan menciptakan rintangan. Rintangan terbesar terhadap
kebangunan batin ialah menghargai diri sendiri.
Seluruh jalan hidup sufi berkisar pada
menghilangkan keterikatan, dan keterikatan yang terbesar dan terburuk kebetulan
adalah ilmu pengetahuan. Ada anekdot tentang Imam Abu Hamid al-Ghazzali (m.
1111) sehubungan dengan ini. Ketika Imam Ghazzali meninggalkan Baghdad untuk
mencari syekh sufi, ia telah memperoleh semua pengetahuan lahiriah dari
ilmu-ilmu Islam, tetapi batinnya yang terdalam belum terbangun. Ia membawa dua
ekor keledai yang dimuati buku. Di tengah jalan ia dihentikan oleh seorang
perampok yang hendak mengambil buku-bukunya. Imam Ghazzali menawarkan apa pun
kepada perampok itu kecuali buku, tetapi si perampok hanya menghendaki buku,
lalu mengambilnya.
Tujuh atau delapan tahun kemudian, ketika Imam Ghazzali telah
memenuhi pencarian sufinya, seseorang datang ke hadapannya di Makkah. Rupanya ia
Nabi Khidr, yang memberitahukan kepada Imam Ghazzali bahwa jika bukan karena
perampokan buku-bukunya, maka ia akan tetap mejadi budak buku-buku itu dan tidak
akan menemukan "Buku" pengetahuan sesungguhnya yang berada di dalam hati setiap
orang. Imam 'Ali berkata dalam hal ini, "Anda adalah 'Buku' [asli] yang
terang."
Buku diperlukan pada awalnya sebagai
alat bantu untuk penemuan batin, tetapi bila seseorang menjadi lebih kuat dengan
pengetahuan batin, ia kurang memerlukan bantuan dari luar. Buku adalah seperti
kursi dorong yang diperlukan seorang anak hanya pada awal kehidupannya. Namun
sayangnya, banyak orang yang disebut ulama mempertahankan kursi dorongnya
sepanjang sisa hidupnya. Di sisi lain, banyak sufi semu cenderung untuk membuang
bukan saja buku tetapi juga bacaan hafalan sebagai barang yang sama sekali tidak
diperlukan. Sikap meremehkan ini tak lain adalah bentuk pengangkatan diri, yang
merupakan pemutarbalikan dan penyimpangan dari jalan spiritual yang
sesungguhnya. Kitab-kitab dan bacaan merupakan alat bantu yang penting untuk
membantu kebangunan batin, yang tak dapat diandalkan sepenuhnya dan tak boleh
diabaikan sama sekali.
Pencari pengetahuan dan gnosis
(makrifat) harus mengikuti jalan di bawah bimbingan seorang guru, sampai datang
suatu saat di mana ia harus dibiarkan sendiri. Guru itu ibarat tongkat yang
tidak perlu digunakan lagi setelah si pencari dapat berjalan sendiri. Saat itu
tiba bila si murid tidak lagi memerlukan guru jasmaniah karena kini ia telah
terisi langsung ke dalam sumber kekuatan sejati. Apabila seseorang mengatakan
bahwa ia memerlukan guru lahiriah sepanjang hidupnya, maka ia telah salah
membatasi ukuran sebenarnya dari potensi manusia dan kerahiman Ilahi.
Apabila
seseorang mengatakan bahwa ia sama sekali tidak memerlukan seorang guru maka ia
sombong (takabbur) dan angkuh dan akan hidup di bawah kezaliman nafsu yang
rendah. Namun, bagi setiap aturan ada kekecualian. Kekecualian tersebut dalam
kasus orang yang tidak memerlukan guru lahiriah, atau yang tidak kelihatan
memiliki guru jasmaniah yang nyata, untuk mengarahkan dan membimbingya. Dalam
tradisi sufi, orang semacam itu disebut uwaisi. Istilah ini berasal
dari nama seorang lelaki, Uwais al-Qarani, yang tinggal di Yaman di masa Nabi
Muhammad SAW. Walaupun ia belum pernah bertemu secara fisik dengan Nabi, namun
ia telah melihat beliau dalam mimpi-mimpinya, kabarnya Nabi SAW menyebutkan wali
besar ini dengan mengatakan, "Nafas Yang Maha Pengasih datang kepada saya dari
Yaman."
Ketika orang mengetahui tentang tingkat spiritualnya, Uwais berusaha
menyembunyikan diri di balik kehidupan biasa seorang gembala unta dan kambing,
dan khalwat menjadi jalan hidupnya. Ketika ia ditanyai tentang hal ini, ia
berkata, "Mendoakan manusia dalam ketidakhadiran orang yang didoakan adalah
lebih baik daripada mengunjunginya, karena aspek-aspek ego mereka, seperti
pakaian atau citra diri, dapat mengalihkan perhatian saya." Ia juga biasa
mengatakan, "Menyuruh orang berbuat baik tidak menyampaikan saya pada seorang
sahabat," dan "Saya memohon kepada setiap orang yang lapar untuk memaafkan saya,
karena saya tak mempunyai apa-apa dalam dunia ini selain apa yang ada dalam
perut saya." Bagi kaum sufi yang belakangan, Uwais menjadi prototipe orang sufi
yang bersemangat yang tidak memihakkan dirinya kepada suatu tarekat sufi. Para
sufi semacam itu menerima inisiasi atau cahaya mereka langsung dari cahaya (nur)
Nabi, tanpa kehadiran secara fisik atau bimbingan dari seseorang guru spiritual
yang hidup.
Segelintir sufi semu yang tidak
mengikuti, dan tidak ingin mengikuti, seorang guru spiritual sejati untuk
membimbingnya pada jalan spiritual, memanfaatkan situasi itu dan dengan tidak
benar menamakan dirinya Uwaisi. Ini adalah salah satu taktik dan penipuan dari
nafsu rendah yang tidak ingin diurus atau tunduk kepada Allah. Uwaisi sejati
yang sebenarnya adalah langka. Orang yang sungguh-sungguh tertarik pada tasawuf
mengikuti suatu jalan perbaikan-diri, kesadaran-diri, dan kebangunan-diri,
dengan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh syekh sufi.
(www.cybermq.com)