Banyak yang bertanya
apa hubungannya share buy back dengan pembangunan infrastruktur.
Tentu saja, share buy back dengan pembangunan infrastruktur merupakan
dua hal yang sangat berbeda. Share buy back sama sekali tidak akan
mengganggu pembangunan infrastruktur atau pengembangan di bisnis
Infocom, namun lebih ditujukan pada upaya memperbaiki struktur utang.
”Kan lebih baik
kalau dana itu dimanfaatkan untuk membeli saham daripada tetap
menjadi utang. Dan upaya ini telah mendapat sambutan hangat dan
dukungan dari para investor. Efeknya juga akan lebih menguntungkan,
tak hanya bagi investor dan share holder, namun juga bagi peningkatan
reputasi perusahaan,” demikian kata Arwin Rasyid (AR) dalam suatu kesempatan
wawancara.
Menurut AR, share buy back juga akan
mampu mendongkrak harga saham. Sebuah perusahaan yang membeli
sahamnya kembali yang beredar di publik menunjukkan bahwa perusahaan
itu sehat dan memiliki reputasi. Jadi tidak perlu khawatir dengan
rencana manajemen ini, karena tak akan mengganggu pengembangan bisnis
atau pembangunan infrastruktur. ”Apalagi jika dikaitkan dengan akan
suramnya bisnis telekomunikasi di masa depan, akibat tiadanya pilihan
teknologi baru, tidak betul itu,” kata AR.
Setiap produk TELKOM
tidak seharusnya diluncurkan hanya untuk sekadar mengejar status
pionir. Untuk itu, apapun yang diluncurkan TELKOM harus telah
memperhitungkan unsur product, service, dan delivery. Jika ketiga
unsur itu ternyata belum siap, lebih baik tidak jadi pionir daripada
membuat pelanggan kecewa dengan produk yang sebenarnya belum siap
diluncurkan.
Business model
merupakan mekanisme dimana bisnis benar-benar diperhitungkan dapat
mendorong pendapatan dan memberikan profit. Desain bisnis ini
memaparkan bagaimana rencana sebuah perusahaan dalam memberikan
layanan terbaik kepada calon pelanggannya.
“Kalau punya tiga
itu, luncurkan. Terlalu dangkal jika pemikirannya bahwa dengan jadi
pionir maka kita sudah berhasil memenangkan bisnis. Semua ini namanya
business model, kalau business modelnya tidak baik maka akan muncul
problem dari produk kita,” jelas AR.
Lebih lanjut AR
mengatakan, masalah yang muncul dari ketidaksiapan business model itu
hanya akan menambah banyak daftar pelanggan yang kecewa, dan calon
pelanggan yang semakin tidak percaya. Dalam era persaingan seperti
ini, orang-orang yang kecewa itu akan mudah memilih dan mempengaruhi
orang lain untuk memilih kompetitor daripada kita.
Untuk itu, TELKOM harus pula menyiapkan
cost allocation untuk setiap produknya. Jika melihat revenue secara
umum, seperti setingkat Divre atau Corporate, memang akan kelihatan
bagus. Tetapi semestinya kita tahu berapa product costing dari setiap
produk yang dikelola oleh TELKOM. Ketidakadaan product costing itu,
menurut AR, menunjukkan TELKOM yang selama ini dipandang sebagai
perusahaan canggih sebenarnya masih terbelakang.
“Kita belum siap
di bidang ini, dan ini harus segera diwujudkan. Kita tidak
bisa menunggu, time is our enemy. Kita tidak bisa meminta kompetisi
untuk menunggu kita siap dulu. Kompetisi akan jalan terus, dan jika
kita tidak siap, tidak tahu berapa product costing-nya maka kita akan
terlibas oleh kompetitor. Ini adalah prioritas,”
tegas AR.
AR juga melihat
fungsi Plasa TELKOM masih merupakan bad cost bagi TELKOM. AR yang
memiliki pengalaman cukup panjang di bidang perbankan ini melihat
fungsi Plasa TELKOM selama ini lebih sekadar loket pembayaran
rekening telepon. Sayang jika gedung sebagus Plasa TELKOM hanya
memiliki fungsi seperti itu, yang sebenarnya bisa dilakukan lewat
jalur lain seperti internet banking, mobile banking, autodebet,
dll. Harus ada inovasi lain dalam memanfaatkan ruang Plasa
TELKOM agar mampu memberikan revenue baru bagi TELKOM.
Meski begitu, AR
memiliki keinginan untuk menyediakan 1.000 Plasa TELKOM, namun dengan
ruangan yang kecil saja dan terletak di pusat-pusat keramaian seperti
mall. Tidak perlu sumberdaya banyak untuk mengoperasikan Plasa TELKOM
yang kecil namun banyak dan menyebar seperti itu. Sementara Plasa
TELKOM megah yang ada selama ini diharapkan mampu memberikan layanan
yang membantu TELKOM mewujudkan goals-nya.
Beberapa kali dalam
ceramahnya AR mengajak peserta SUSPIM untuk mencoba melihat pandangan
sebagai seorang investor. AR menilai, Bad Debt kita atas produk
TELKOM Speedy dan TELKOM Flexi yang telah mencapai jumlah hampir 1
Triliun merupakan suatu pelajaran yang terlalu mahal. Setiap
product costing yang kita keluarkan harus diperhitungkan secara
cermat. Hal inilah yang harus segera kita benahi.
Sebagaimana ceramah kepada peserta
SUSPIM, Dirut juga
mengingatkan kembali tentang perlunya bagi TELKOM untuk mempunyai
bisnis model (business model) yang jelas. Business model merupakan
suatu mekanisme tentang bagaimana suatu bisnis dibangun dan bagaimana
cara memperoleh profit atas mekanisme tersebut. Dalam business model
dijelaskan secara komprehensif bagaimana proses suatu produk dibuat,
service yang diberikan, sampai bagaimana delivery sistemnya. Unsur
product, service, dan delivery ini merupakan sistem yang integrated
secara keseluruhan. Jika perusahaan belum memiliki business model
yang integrated, maka perusahaan tersebut akan kalah dalam battle
field kompetisi yang semakin ketat.
Mempersamakan persepsi, tentu tak bisa
datang dengan sendirinya, namun perlu dilakukan melalui komunikasi
yang intens dan terbuka. Oleh karena itulah masalah komunikasi
terbuka ini telah dijadikan sebagai salah satu kebijakan perusahaan
yang harus terimplementasi ke seluruh jajaran..
Dirut juga memberikan penekanan
tersendiri pilar paradigm shift. "Perubahan paradigma adalah
sesuatu yang yang sangat urgent. Baik dalam hal budaya, etika dan
pelayanan. Pergeseran paradigma ini sebagai suatu
hal yang sangat mendasar dari empat pilar strategic initiative tadi.
Dikaitkan dengan
kebijakan transformasi perusahaan, manajemen c.q. Direksi telah sepantasnya memberikan jaminan tidak boleh ada pemutusan hubungan kerja (PHK/Rasionalisasi).
"Transformasi tak ada kaitan dengan PHK. Kebijakan ini dilakukan
karena kita berkeinginan agar perusahaan ini dapat beroperasi secara
efisien serta lebih fokus dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan
(customer centric)," jelas Dirut.
Terkait dengan
masalah paeningkatan kesejahteraan karyawan, dirut meyambutnya dengan
sangat antusias. Menurut AR, bahwa masalah kesejahteraan ini telah
menjadi bagian concern direksi, karena ini merupakan good cost. Namun demikian, lanjut Dirut, bahwa
permasalahan ini perlu dilihat dari dua fase. Pertama, fase cara
bekerja dan kedua fase cara berpikir. Kedua fase ini pada intinya
mengacu pula pada empat stretegic initiatif tadi. Yang pada
gilirannya dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan.
SEKAR mempertanyakan pula tentang nasib
para pensiunan TELKOM yang relatif tidak menggembirakan atau
cenderung menderita. Dirut tak menampik kondisi ini, namun direksi
tetap akan memberikan perhatian secara proporsional. Walaupun perlu
dipertimbangkan pula bahwa jumlah para pensiunan ini pada suatau saat
nanti akan bertambah dan jumlahnya akan lebih besar dari jumlah
karyawan.
Melihat kondisi itu tampaknya perlu
pertimbangan dan kebijakan yang harus dilakukan secara hati-hati.
Apalagi data menunjukkan biaya untuk THP para pensiunan itu cukup
signifikan mencapai lebih dari Rp. 700 milyar per tahun.
Butuh kapal kapal cepat
Kalaulah TELKOM
diibaratkan sebagai sebuah kapal yang besar, maka keberadaannya kini
tengah keberatan muatan. Sehingga beberapa sekoci perlu diturunkan.
Sekoci-sekoci atau kapal-kapal kecil itu harus berjalan cepat dan
lincah sehingga mampu mengawal atau mendampingi kapal induknya.
Mengapa? Karena ternyata pertumbuhan operating revenue (OR)
kita tengah mengalami stagnan.
Kapal-kapal kecil ini merupakan
perumpamaan dari unit-unit bisnis kita yang harus mampu beroperasi
secara cepat, lincah, dan bisa menghasilkan revenue baru (new revenue
generator). Misalnya, Flexi, Speedy, Multimedia dan TELKOMVision yang
harus mampu menghasilkan pendapatan baru bagi perusahaan secara
signifikan.
SEKAR pun sempat
mempertanyakan komitmen AR selaku CEO dalam memperjuangkan
kesejahteraan karyawan TELKOM. Pertanyaan ini diresponse AR, bahwa
menjadi seorang leader itu memang membutuhkan kiat tersendiri. Namun
bahwa untuk menjadi leader itu, tak boleh sekedar mencari
popularitas. Jangan hanya menjadi time keeper, namun jadilah clock
builder. Dalam arti tak hanya bisa menikmati apa yang ada dan sudah
tersedia, namun juga harus mampu menciptakan dan membangun sesuatu
yang baru dan bermanfaat melalui pelbagai terobosan baru.
Tentu saja menjadi
pemimpin pun, tandas AR, harus pula oleh suatu kesisteman yang bagus
dan benar-benar harus berjalan secara konsisten. Untuk itu, ajak AR,
marilah kita bersama-sama untuk membangun bersama, berjuang bersama.
Marilah kita untuk bersama-sama meningkatkan pertumbuhan, menjaga
agar cost tidak membengkak serta menghindari bad cost dan ugly cost
yang sangat merusak dan mengganggu kinerja perusahaan ini. (*nas)