Kini kita sedang hidup di alam perubahan yang penuh paradoks dan kontradiktif. Dalam kondisi ini ada semacam ketakutan yang mengancam. Ada pula kekhawatiran segala sesuatunya berkembang menjadi lebih parah. Namun ada pula sejumlah orang yang penuh harap, karena perubahan baginya adalah peluang emas hingga mampu menjadikannya sebagai pembangkit semangat.
Mediokritas adalah manifestasi dari rasa lesu dan puas diri. Dia bercokol bersama kita terkadang dalam waktu sangat lama. Mediokritas bisa menjadikan kita kehilangan arah, tanpa daya dan frustasi. Bisa pula berupa motivasi berlebih hingga mencapai tahapan ambisius.
Akibat mediokritas bisa menjadikan pemerintahan, bisnis dan industri runtuh porak poranda. Batasan benar dan salah bisa menjadi kabur sejalan dengan benturan antara standar moral dan pola sikap. Ini bisa terjadi dimana saja, di rumah, lingkungan masyarakat atau di tempat kerja sekalipun.
Banyak yang menyatakan bahwa 'kecil itu indah' dan 'kurang itu lebih'. Namun terkadang kita menerima begitu saja setiap keadaan dengan serba kurang. Padahal sesungguhnya semua peristiwa buruk yang kita alami tak selalu disebabkan oleh pihak luar, namun justru problem-problem terbesar yang timbul sebagai akibat kesalahan sendiri.
Jepang contoh sejati
Amerika Serikat (AS) merupakan produsen utama produk-produk pertanian dan industri di dunia untuk selama lebih dari seratus tahun. Namun kita tahu apa yang terjadi kemudian. Jepang yang dikenal 'si peniru' ini tak hanya mencontoh namun juga menginovasi gaya manajemen AS. Jepang begitu telaten mendengarkan kebutuhan para pekerja mereka dan mengamati kebutuhan konsumen AS. Ia berupaya mengakrabi para konsumen AS yang tengah apatis terhadap produk-produk dalam negeri AS sendiri. Jepang berhasil hingga sanggup meruntuhkan kebanggaan AS terhadap produknya. AS kena 'godam' Jepang.
Orang Jepang adalah sosok manusia penuh harapan dengan komitmen tinggi untuk meraup sukses. Mereka memelihara pelbagai kondisi guna memunculkan kinerja hebat. Ia pejuang keras dan begitu mengagungkan motivasi terhadap angkatan kerjanya guna meraih keunggulan dan produktivitas tinggi. Jepang sangat dikenal dengan keteguhan hatinya untuk memproduksi barang-barang bernilai dan bermutu tinggi.
Manajemen tanpa daya
Kepemimpinan yang ekstra hati-hati dan manajemen yang tanpa daya bukan satu-satunya penyebab runtuhnya semangat di lingkungan industri dan bisnis. Namun ada kalanya para pekerja serta organisasinya turut mendukung mediokritas. Tenaga kerja menjauhkan diri dari system nilai dan etika kerja. Tak ada lagi usaha menyumbangkan prestasi. Ini banyak kita jumpai dalam dunia bisnis di Indonesia. Mereka hanya mengharap gaji besar dengan kerja ringan. Mereka berharap jabatan, namun dengan kompetensi yang masih diragukan. Mereka ingin dihargai namun tak sanggup menghargai. Mereka berharap menjadi pemimpin, namun tanpa 'kepala' ( Cat. Pemimpin tanpa kepala adalah pemimpin yang tidak memiliki jiwa kepemimpinan ).
Manajemen yang buruk kerapkali mengalienasi jajarannya dengan menjadikan mereka tidak peka dan apresiatif. Ada orang-orang yang mendapat keuntungan posisi yang sebenarnya belum patut atau tidak sepantasnya. Tak aneh kalau telepon-telepon berdering tanpa ada yang mengangkat karena pemiliknya tak ada ditempat. Munculnya cuti rekayasa, izin sakit, atau ngobrol ngalor-ngidul dengan sejawat. Akibatnya, produktivitas kerja menjadi bablas!
Terkadang manajemen dan pekerja telah bersama-sama menyumbangkan kualitas kerja yang parah dan pelayanan yang buruk namun harus diganjar dengan harga tinggi.
Antara potensi dan motivasi
Persoalan mendasar SDM kita adalah bukan karena kurangnya kesempatan buat orang yang termotivasi dengan baik, melainkan kurangnya orang-orang bermotivasi tinggi yang siap dan mampu memanfaatkan setiap kesempatan. Wajar jika banyak komentar, SDM TELKOM memang hebat dan pintar, tapi soal motivasi tak sedikit yang minim hingga ?nol besar?.
Sesungguhnya kita tidak kekurangan orang-orang pintar, cerdas dan berpotensi sukses, bahkan untuk meraih sukses spektakuler sekalipun. Tapi hanya sedikit diantara kita yang berkarya dalam tingkat optimal. Biangnya, ya itu tadi, karena terlalu minim motivasi dalam mengerahkan segudang potensinya.
Mungkin motivasi itu sudah ada, namun kurang pompa dan tekanan. Bahkan ia lebih cenderung memikirkan ?status quo? guna melindungi kedudukannya dari pada cara-cara menghasilkan prestasi terbaik. Sungguh disayangkan jika antusiasme dan gairah yang dimiliki pekerja berpotensi besar itu harus terbuang percuma karena para penyelia dan manajer yang kehilangan motivasi, egois, arogansi sektoral dan apatisme buta.
Ini sesungguhnya kerugian besar buat dunia bisnis. Terutama jika orang-orangnya yang terbaik digantung tanpa peluang dan ganjaran memadai. Mereka akan menjadi kecewa dan mulai menempuh jalur apatisme, frustasi dan tanpa ambisi.
Buck Rodgers dalam ?Getting the best out of yourself and other ? mengungkapkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesuksesan anda yakni: Mengenal diri anda dengan baik; Mempunyai motivasi, inovasi dan inisiatif; Mengetahui secara persis apa yang ingin anda raih; Mempunyai metoda dan informasi guna mencapai tujuan; Mempunyai keahlian dalam menyampaikan materi dan mampu berargumentasi dengan meyakinkan; Berpihak pada yang menaruh minat, yang bisa menarik faedah/kesenangan dari kinerja anda; Menjalin hubungan yang peka dan responsif terhadap kebutuhan; serta Mempunyai kepekaan terhadap reaksi orang lain.
Semua hal tersebut, harus disertai dengan kesungguhan, rasa percaya diri dan integritas kuat. Dalam arti selalu berupaya lebih keras lagi untuk menjadi yang terbaik.
Terciptanya kinerja unggul karena didukung oleh energi yang intens dan terkonsentrasi kuat. Namun bukan hiper-energi yang tanpa arah, tapi energi yang memancarkan gairah, perhatian, antusiasme dan mengasyikan. Manifestasi energi ini bisa dirasakan dalam sebuah balada sunyi yang dilantunkan Frank Sinatra misalnya. Itulah energi yang memikat, yang mampu menghipnotis, menjalar dan mengakar. Hingga mampu membangkitkan ?daya magis? dan inspirasi luar biasa pada orang lain.
Kinerja hebat akan tergelar jika semua faktor diatas tadi dipenuhi, seolah-olah tanpa usaha dan terjadi secara alami, sehingga kita mendapatkan martabat, pengetahuan, keahlian, hubungan, sensitivitas, konsentrasi dan energi,? begitu kata Buck Rodgers.
Andai ada satu imbalan untuk pemain yang unggul, maka perasaan melambung tersebut merupakan harga dari sebuah perjuangan. Tentu saja ada imbalan berupa peningkatan karier, kesejahteraan, kehormatan, pengakuan dari orang lain dan juga dari diri anda sendiri. Itulah harga dari segala usaha. Masih adakah imbalan seperti itu? ( Harlan Er-yk/N425 ).